Minggu, 19 Januari 2014

Separated

Perpisahan buat gue emang jadi salah satu hal yang gue benci dalam hidup ini. Tapi bagaimana pun gue benci sama yang namanya perpisahan, hal itu udah pasti bakal terjadi. Sudah mutlak. Ada beberapa hal yang memang sudah ditakdirkan untuk tidak berlama-lama sama kita.

Tapi puncak dari segala perpisahan adalah kematian. Dan kematian adalah hak prerogatif Tuhan. Yang bahkan sebelum kita tau apa arti kematian, sudah ditentukan oleh Tuhan sendiri.

Ada beberapa kematian yang pernah terjadi dalam hidup gue. Beberapa orang yang gue kenal juga harus menghadapi kehilangan orang-orang yang paling mereka sayangi.
Kehilangan terakhir yang gue alami adalah kehilangan temen deket gue sendiri, sekitar hampir 2 tahun yang lalu karena dia sakit DBD. Waktu itu gue ga melihat langsung jenazah temen gue itu, karena waktu itu gue lagi di luar kota. Waktu itu gue nangis. Gue sedih, karena he's such a gift to me. Dia tuh selalu siap sedia kalo disuruh ke rumah gue. Terakhir gue jalan sama dia, dia bahkan nraktir gue, terserah gue tinggal milih mau apa.

Di peringatan tujuh hariannya, gue dateng ke rumahnya. Gue ga peduli temen-temen gue yang lain waktu itu ga bisa dateng. Pokoknya gue harus dateng. Gue harus doain dia. Gue harus bayar keabsenan gue waktu pemakamannya.
Waktu gue masuk rumahnya, gue langsung disambut sama nyokapnya. Di sebelah nyokapnya ada pacarnya. Dan di barisan laki-laki gue liat bokapnya. Waktu gue ngobrol sama nyokapnya, nyokapnya mewakili temen gue minta maaf kalo ada salah, dan cerita kondisi dia terakhir.
Waktu itu gue ngeliat pacarnya. Gue ga kenal sih sama pacarnya. Kita bahkan baru kenalan dan ngobrol secara langsung disitu. Karena selama ini kita cuma tau sama tau aja. Terus gue merasa kasian sama dia. Gue gatau apa rasanya ditinggal pasangan.
Terakhir yang gue liat adalah bokapnya. Itu adalah momen dimana gue merasa takut gue akan meninggalkan atau ditinggalkan bokap gue. Gue ga tega membayangkan bokap gue akan seperti bokapnya temen gue, yang menatap nanar dan sedih karena kehilangan anaknya. Dan baru-baru ini, kabar terakhir yang gue dapat soal bokapnya adalah, bokapnya sampai sekarang masih terpukul, sampai kurus badannya. Temen gue ini harapan bokapnya banget. Dia anak laki-laki pertama dan satu-satunya di keluarga mereka. Temen gue ini juga udah dipersiapkan buat jadi dokter, nerusin bokapnya.
...

Sekitar pagi tadi sehabis sholat subuh, gue sempet ngecek timeline twitter. Tiba-tiba ada tweet dari temen gue yang bikin kaget. "Tetep tabah sayang @xxx. Semoga bapak tenang disisi-Nya". Innalillahi wa innailaihi rojiuun, bokap pacarnya temen gue ini baru aja meninggal karena sakit. Gue cuma kirim whatsapp ke temen gue, berharap pacarnya temen gue ini bisa ikhlas dan sabar.

Gue inget kemarin gue baru blogwalking ke blog temen gue. Ada satu postingan dia yang cerita soal dia yang baru aja ziarah ke makam ayahnya.



"Seiring berjalannya waktu, perjalanan ke makam tidak lagi mengundang keinginan untuk menangis. Rasa rindu kepada sosok Beliau lah yang muncul dan mendominasi saat tangan gue,adik, dan Mama menaburkan bunga ke pusara.
Setelah berpulangnya Ayah, pandangan gue mengenai pemakaman berubah drastis. Gue nggak menganggapnya sebagai tempat yang asing (walau gue tetap menolak keras jurit malam di kuburan, kurang kerjaan). Pandangan gue mengenai kematian juga mengalami pergeseran. Kematian yang kelihatannya tidak tampak itu ternyata melekat erat dalam setiap hela napas."

Entah apa yang ada di skenario Tuhan untuk semua perpisahan. Tapi setiap perpisahan pada akhirnya akan menyisakan beberapa hal. Dari perpisahan, kita sadar ada banyak hal yang membuat kita belajar. Pada akhirnya, tak ada lagi rasa marah, rasa kesal, rasa menyesal karena perpisahan. Pada akhirnya yang tertinggal dalam sebuah perpisahan hanyalah rindu. Tapi sayang, karena perpisahan pula, rindu itu hanya bisa dititipkan melalui Tuhan. Sampaikan yang baik-baik pada-Nya, begitulah sebaik-baiknya cara merindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar