Kamis, 25 Mei 2017

Percakapan Tentang Masa Depan

"Sebenernya rencana kamu ke depan apa sih, mas?" tanyanya dengan nada yang sedikit tinggi.
Topik pembicaraan ini sebetulnya sudah belakangan ini mengisi percakapan kami berdua. Tentang ia yang mempertanyakan rencana masa depanku, kami lebih tepatnya. Sementara aku, sejuta kali ia tanyakan hal serupa, sejuta kali juga aku belum bisa menjawabnya.

Aku paham ia mulai geram. Kami ada di usia yang sudah layak untuk maju ke tahap selanjutnya, apalagi untuk perempuan sepertinya. Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya dengan kata ya atau tidak.
Jangan salah, bukan tak ingin, sudah cukup lama aku merasa mantap ia cocok menjadi ibu dari anak-anakku dan teman hidup saat menua nanti. Tapi, ada juga hal-hal yang kurasa cukup memberatkan untuk diriku pribadi.
Dan itu yang menjadi pokok masalahnya. Ia kesal karena ia tak mengerti apa hal yang memberatkan itu. Dan sayangnya, bukan hanya ia, aku pun tak mengerti hal apa itu.

"Aku bosan dan sudah risih sebenarnya nanya hal yang sama ke kamu beribu kali. Tapi aku juga butuh jawaban yang lebih pasti, bukan cuma 'nanti' atau yang lain." Katanya mulai melunak. Ku baca raut air mukanya. Aku tahu ini sudah puncaknya, disentil sedikit menangis dia. Aku hanya terdiam, menunduk, dan menjadi pengecut yang bahkan tak berani untuk sekedar menatap wajahnya yang bertanya-tanya.
Sebetulnya bukan hanya dia, aku pun kesal pada diriku sendiri yang selalu terlalu lemah seperti ini setiap kali ia membahas masa depan kami.

"Aku tahu, Mas, ini bukan tentang kamu sayang atau enggak sama aku. Ini tentang berani atau enggaknya kamu mengambil keputusan yang paling penting dalam hidup kamu," katanya sambil sekilas ku lirik wajahnya.
"Keputusan yang paling penting untuk sisa hidupmu nanti." Tambahnya.

Kami terdiam sejenak, dengan kepala yang mulai panas karena terlalu pusing.

"Atau kamu belum juga yakin sama aku?" Tanyanya memecah keheningan itu, sekaligus pertahananku dalam 20 menit kami berdua di kamar kosku.

Emosiku mulai terpancing, dan sekarang bukan cuma kepala tapi hatiku juga mulai panas. Bagaimana bisa ia bertanya seperti itu.
Ku tatap ia lekat-lekat walau heran. Aku sadar tatapanku menajam, dan itu cukup untuk membuatnya menyesal berucap seperti tadi.
Adinda, percayalah, bukan hanya kamu yang memikirkan hal ini. Bukan hanya kamu yang sedih saat ini. Melihat matamu yang mulai basah membuat hatiku makin tertusuk. Ku akui, kali ini semuanya memang tentang salahku.
Tentang aku yang sekali lagi, terlalu pengecut karena tak berani melangkah maju, dan tentangku yang terlalu egois karena selalu menahanmu.
Aku mengenalmu Adinda, dan segala yang kutahu tentang dirimu sudah cukup membuatku percaya bahwa masa depanku indah denganmu. Kamu, perempuan kuat, mandiri, dan berani. Cerdas, sederhana, dan baik hati. Semuanya melengkapi apa-apa yang tidak padaku, begitu pun aku untukmu. Aku yakin bahwa kamu akan menjadi penyangga dan penyeimbangku. Tapi...

"Apa aku terlalu egois, Mas, hingga hanya aku yang memikirkan sendiri? Atau... " kata-katanya terhenti.
"Bukan itu, Dinda. Bukan salahmu bertanya akan hal itu. Hanya saja.." kataku akhirnya bersuara. Aku berhenti sejenak, memikirkan kata-kata apa yang ingin ku keluarkan.

"Aku belum bisa." Lanjutku sambil memalingkan wajah ke arah lain, tak ingin ku lihat raut mukanya.

"Jadi?" tanyanya, air mata menggantung di pelupuknya.

"Pilihannya hanya menunggu atau.."

"Sampai kapan? Atau apa?" tanyanya memburu. Aku menggeleng.

"Atau memang kalau kamu mau, kamu bisa pergi dari aku." Kataku, yang bahkan aku sendiri tak mengerti mengapa terucap dari mulutku. Ia hanya terdiam, pupil matanya membesar. Jelas, yang barusan bukan apa yang ia bayangkan sebelumnya. Air matanya menetes pelan. Tangisnya tak bersuara, tapi ku lihat punggungnya berguncang. Tak sampai hati ku lihat ini. Aku sayang perempuan ini. Yang justru menyakitkanku adalah fakta bahwa akulah sebab jatuhnya air mata itu.

"Dinda, aku butuh kamu percaya kalau aku sayang kamu. Dan apa yang kamu mau, juga jadi tujuanku. Tapi masih ada beberapa hal yang perlu aku tuju." Saat mengatakan hal itu, dapat ku rasakan dadaku bergemuruh, mungkin marah walau tak tahu apa yang membuatnya marah.
Ku genggam tangannya, ia diam saja masih larut dalam tangisnya yang tak bersuara. "Yang kita butuhkan saat ini hanya waktu, Dinda. Sedikiiiit saja, aku ingin kamu menunggu. Tapi kalau memang ternyata kamu buru-buru, nggak ada alasan buat aku nahan kamu." Tanpa sadar kugigit bibirku keras, menahan emosiku.

Dinda, mengangguk. Ia menghentikan tangisnya, tapi belum juga berani mengangkat wajahnya.
"Iya, mungkin memang butuh waktu." Katanya sambil menghapus air matanya. Ia membereskan barangnya, lalu bangkit meninggalkanku yang masih terdiam. Ia kemudian berlalu tanpa sama sekali menengok ke arahku. Ku kejar ia begitu tepat di depan pintu kamarku. Ku peluk ia, dan ini adalah pelukan pertamaku setelah sekian lama bersamanya.

"Maaf, Dinda." Kataku. Ia masih juga tak acuh, tapi badannya bergetar.
"Aku pergi dulu," katanya yang kali ini tak lagi bisa kutahan. Ia pergi bersama sejuta hal yang memenuhi kepala dan dadaku saat ini. Mulai dari hari pertama bersamanya, dan segala cerita di setiap detiknya, hingga hari ini.
Aku sadar membiarkannya pergi tadi bukan hanya akan menghancurkannya, tapi juga diriku sendiri dan semua impian yang selalu kuselipkan namanya di antaranya.
Adinda, aku mohon jangan pergi, walau tak bisa ku katakan jelas padamu. Temani aku, pria pengecut yang butuh kamu untuk sisa hidupku.
...
Kamar kos pukul 3.50

---

Kubaca sambil mendengar lagu Fiersa Besari berjudul Kau, Sheila On 7 Tentang Hidup, dan Float Sementara.

Senin, 15 Mei 2017

Untuk Kamu, si Penikmat Malam

Saya ingin menjadi orang yang membetulkan kerah bajumu saat ia terlipat kusut

Saya ingin merapikan rambutmu dan menjadi cerewet ketika mereka mulai memanjang berantakan

Saya ingin memastikan bahwa kamu tidak makan siang pukul dua, dan baru buka puasa satu jam setelah adzan berkumandang

Saya ingin menemanimu membeli celana jeans slimfit yang terlihat bagus di kaki panjangmu. Oh, dan kemeja flanel yang saya suka itu.

Saya ingin menyajikan kopi untukmu (kecuali senin dan kamis tentunya), dengan sedikit gula. Atau mungkin menemanimu duduk di coffee shop, sementara saya memesan teh. Semata karena kamu suka kopi, sementara saya lebih suka teh. Dan nanti akan saya bawa brownies buatan saya yang kamu suka itu.

Saya ingin kita mendengarkan lagu bersama kemudian membuat cover lagu-lagu itu, karena saya suka, selain punya selera musik yang sama, kita juga punya tone suara yang cocok satu sama lain. Saya ingin merasukimu dengan lagu-lagu yang saya suka, yang saya rasa cocok kamu tentu akan suka juga setelah mendengarnya.

Saya ingin, setelah selesai membaca buku, yang lagi-lagi hampir sama seleranya, kita membahasnya sambil menikmati waktu santai di akhir pekan.

Saya ingin kita lebih menikmati malam. Bercengkrama dalam kesepian. Menikmati lampu Jakarta. Kemudian berhenti di satu sudut, membeli nasi goreng seharga lima belas ribu. Saya akan memesan es teh yang esnya hanya sedikit, dan kamu akan memesan teh manis hangat.

Kemudian kita pulang, dan saling mengucap salam. Menanam rindu. Dan berharap esok hal-hal itu akan terulang kembali.

Sabtu, 06 Mei 2017

A Matter of Time

Kalau dibandingin sama teman-teman yang lain, gue sadar gue jauh ketinggalan. Dari berbagai hal. Satu teman gue udah jadi kartap di kantornya, teman yang lain udah naik pangkat, teman yang lain lagi gajinya bahkan 3x gaji gue sekarang, teman yang lain lagi sibuk ngejar beasiswa masternya, sementara teman yang lain mulai merintis bisnis setelah berhasil ngumpulin modal selama kerja, teman yang lain lagi stress ngurusin pernikahannya, sementara teman yang lain lagi excited ngelus-ngelus baby bump-nya yang mulai keliatan, dan yang lain lagi sibuk nyiapin pesta ulangtahun anaknya yang ke-2.

Sementara Ayunnisa?

Masih gini-gini aja. Masih di sini-sini aja. Yang kadang sering bikin gue mengeluh dan nanya, kenapa gue nggak kayak gini, kenapa gue begini, kenapa gue di sini. Lots of why questions! Lyk, I couldn't even see which positive parts of me except I can survive on this harsh world.

I do realise that these kind questions are actually bukan sesuatu yang vvovv gitu. Di luar sana juga banyak orang lain yang sama kayak gue. Kebanyakan nanya kenapa. Dan semuanya tau, ini sebenernya pertanyaan yang nggak butuh jawaban, dan cuma keluhan negatif dari orang yang nggak guna dan nggak punya kerjaan.
Gue sendiri sebenernya nggak pernah nanyain hal ini ke orang lain, karena sadar yang kayak gini tuh cuma sampah dan hanya akan spreading negativity ke orang lain di sekitar gue.

Tapi yaaa...
Namanya juga suka galau. Hal-hal kayak gini masih suka gue rasain dan bikin drop tsay~
Kenapa di usia segini karir gue masih belum oke. Kenapa circle gue itu-itu aja. Kenapa gue ga punya pacar. Kenapa belum menikah. Dan banyak hal lain yang selama ini juga rutin gue tanyakan ke diri sendiri.

Ketika baca artikel tentang 'time zone' di berbagai sosial media, gue sadar, itu memang hanya masalah waktu. Semua absurd dan jadi misteri buat hidup manusia itu sendiri.
Manusia nggak akan pernah tau kapan dia akan begitu, atau kapan dia akan begini. Dan semua manusia punya kesempatan yang sama walau dengan zona waktu yang berbeda-beda.

Sebagai orang yang agak well-planned, sebenernya gue nggak suka dengan term misteri hidup ini. :(
I set my life planning once in a year, untuk jangka panjang dan jangka pendek. Dan ketika dari semua planning-planning itu nggak berjalan lancar di waktu yang udah gue tentuin, gue bakal stress. Gue harus merombak lagi planning yang udah gue bikin sebelumnya. Dan ketika planning itu gagal lagi, gue stress lagi, begitu terus siklusnya.

Sekarang mungkin gue baru bisa menjadi diri gue yang sekarang. Tapi mungkin akhir tahun nanti, gue akan merasakan apa yang udah dialamin sama teman-teman sebelumnya. It's a matter of time, sekali lagi. Nggak perlu khawatir dan nggak perlu terlalu stress. Nanti pasti akan ada waktunya. Toh kata pepatah, GOOD THINGS ALWAYS COME TO THOSE WHO WAITS.
Jadi, sabar aja yaaa.. Just enjoy the life. :')

Jumat, 05 Mei 2017

Semoga..

Semoga sampai tiba saatnya nanti, Allah mencatatnya sebagai pahala buat kesabaran lo yang nggak pernah bosen ngingetin untuk segera berhijab setiap kali kita ketemu.

Semoga pertemanan yang udah lebih dari satu dasawarsa ini pada akhirnya bukan hanya buat di dunia, tapi juga di akhirat nanti.

Thank you, Tem. :')

#Baper





Jadi kemarin ceritanya gue nonton show-nya Kahitna di Bogor, dan salah satu lagu yang dibawain itu lagu ini yang termasuk salah satu lagu baru dari mereka. Jujur itu pertama kalinya gue denger lagu itu, dan gue suka banget! Malahan setelah itu, hampir 3 hari setelah denger lagu itu, gue dengerin terus dan nyanyiin terus, sampai dari yang awalnya gue cuma suka karena lagunya, sampai gue beneran baper denger lagu ini.
Menurut gue, lagu ini tipe lagunya Yovie, dan lagu Kahitna banget, liriknya sederhana tapi dewasa, dan melodinya itu luar biasa bikin nyess~ Lagunya tentang seseorang yang suka sama seseorang (lainnya), tapi dia nggak berani buat ngungkapin perasaan itu karena dia takut cintanya nggak berbalas.
Gue yakin ya, banyak orang yang pernah ngalamin hal kayak gini. Termasuk gue, jelas.. :)
Jadi, belakangan ini, gue suka sama seseorang. He's a type of a person that I like. Suka yang beneran suka dia personally dan suka dia karena naksir. Dia baik banget, kharismatik, sholeh, charming, generous, gentle dan segalanya yang bikin orang juga suka sama dia, baik cewek ataupun cowok. Kayak everyone fall for him gituuu karena dia memang luar biasa baik. :')
Gue tau, ada banyak perempuan yang suka sama dia, mulai dari A sampai Z. Dari yang ngumpet-ngumpet sampai terang-terangan (walaupun tetep implisit) suka sama dia. Dan gue, sebagai bagian dari cewek-cewek yang juga suka sama dia, sadar betul akan satu hal, dia nggak akan pernah suka sama gue kalau ngebandingin diri gue sama cewe-cewe lain yang juga suka sama dia.
These past days, ketika gue denger lagu Kahitna ini gue jadi sering kepikiran tentang orang yang gue suka ini. Gue mulai merunut kronologi kenapa gue bisa suka sama dia, dan akhirnya sampai pada kesimpulan, I fall in love with him. Yang kalau kata Raisa tuh bukan jatuh cinta, tapi jatuh hati dimana ku tak harus memilikimu tapi bolehkah ku selalu di dekatmu.
Lyk, gue selalu kepikiran dia terus. Dia di mana, dia lagi ngapain, dia mau apa, sampai ke mikirin apa pendapat dia kalau gue begini atau begitu.
But, I just can't tell him. Sama aja kayak ngegali lubang kubur sendiri. Why? Karena semakin gue mengenal dia, semakin gue tau bahwa gue juga ga akan pernah sama dia. Dia nggak akan suka balik ke gue dengan segala alasan dan faktor pendukungnya. Tapi jujur aja, ada keinginan dari gue buat berusaha jujur sama si oknum ini kalau gue suka sama dia.
Kalau ditanya kenapa sih gue  nggak bilang aja sama dia, sebenernya jawabannya simple. Gue takut perasaan ini nggak berbalas. One side love.
For addition, dia temen gue dan gue termasuk yang anti pertemanan rusak karena cinta. I don't want to ruin our friendship.
Tapi beneran deh, gue ga pernah semikirin orang lain kayak gini karena gue naksir sama dia. Gue pengen banget bilang sebenernya sama orang ini, kalau gue suka banget sama dia. Cuma untuk bilang. Gue cuma pengen dia tau, dan bagus kalau dari situ dia bisa ngeliat gue dari sisi yang lain. Dari sisi di mana gue bukan temennya.
Tapi sekali lagi, ngungkapin sayang ke orang lain itu dilema. Itu tuh kayak bom waktu yang tinggal nunggu meledak, dan ngerusakin apapun yang ada di sekitarnya. Semua yang udah lo bangun, mulai dari citra sama kualitas hubungan lo berdua itu sama-sama risky. Kalau ada yang pernah nonton drama korea Reply 1988, pasti pernah nonton scene di mana Deok Seon sama dua temen ceweknya lagi ngobrol, dan temennya baru aja patah hati karena ngaku suka sama orang yang dia suka dan got dumped. Terus temennya bilang, 'waenyol! Bodoh lo! Buat cewek-cewek kayak kita, cerita cinta kita tuh berakhir ketika kita ngaku kalau kita suka'.
Yes, mungkin itu juga berlaku buat gue. Walau sebenernya ya, kalaupun gue nantinya ngaku suka sama dia, gue akan bilang kalau gue suka personalitynya dia, dan gue pengen jadi temen deket, temen diskusi, support system-nya dia yang fully support dia di berbagai hal. Tapi gue beneran takut kalau ketika gue cerita ke dia itu bakal jadi cerita terakhir antara gue sama dia.
Gue berusaha untuk nggak mikin ini, tapi tetep yaaa gue jadi kepikiran terus. Bilang atau mendingan diem aja ya?