Rabu, 22 September 2021

Sayonara

Notifikasi dari Slack yang terhubung ke Google Calendar berbunyi, mengingatkan bahwa sepuluh menit lagi meeting mingguan tim akan dimulai. Dan entah kenapa, hari ini gue skip banget sama meeting itu. Gue bahkan belum nyalain laptop, dan malah baru selesai mandi dan mencuci baju.
Shock dengan reminder ini, gue langsung buru-buru bersiap dan memutuskan buat masuk duluan ke room tepat dua menit sebelum meeting dimulai.

Dia sudah ada di sana lebih dulu, ternyata. Sebut aja namanya Diaz. Orang yang tepat setahun ini jadi partner kerja, dan partner curhat selingan gue selama kerja. Kira-kira tiga hari yang lalu, gue kirim chat 'I hate you' ke Diaz sebagai respon atas pengiriman surat pengunduran diri resminya ke bos, yang kebetulan di-carbon copy ke gue sebagai peer. Dan sejak chat itu, gue berusaha untuk tidak berbicara sama Diaz untuk hal apapun. Hal absurd yang gue lakukan karena:
1. Perbincangan mengenai Diaz yang mau resign sudah jauh hari kami lakukan, jadi seharusnya chat 'I hate you' itu tidak perlu, dan gue ga seharusnya sekaget itu, dan
2. Ya, kenapa harus nggak mau ngobrol lagiiii?!?!

Entah kenapa, tapi bingung rasanya mau memulai pembicaraan. Padahal idealnya, seharusnya banyak hal yang harusnya kita share dan bicarakan. Kurang dari sebulan lagi Diaz akan pergi dari tim kami. Dan secara teknis, seharusnya kami berdua sudah menyiapkan proses handover - yang tentu aja harusnya dioper ke gue - untuk pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dia pegang.
Tapi sejak terakhir kali mengirim 'I hate you' itu, entah kenapa belum ada pembicaraan sama sekali sama Diaz. Bahkan di group whatsapp kerja. Kenapa, ya? Gue juga bingung. Apa diri ini lagi mempersiapkan kalau nanti dia benar-benar sudah pergi? Tapi, buat apa? Toh, Diaz juga pernah bilang, situasinya tidak akan jauh berbeda dengan atau tanpa dia, seharusnya. Terus, kenapa begini, ya?

Diaz akhirnya memecah kesunyian call itu. Berbasa-basi menanyakan satu dan lain hal. Gue jawab sekenanya aja, sambil memfokuskan diri mengerjakan hal lain, yang kurasa cukup membantu untuk mengalihkan pertanyaan-pertanyaan di kepala gue saat itu. Tapi terus hening lagi.

"Btw, gue balikan akhirnya..." Katanya.

And it hit me. Out of nowhere.

Tapi kenapa harus hit me, ya? Bahkan jari gue yang daritadi sibuk ngetik ikutan berhenti. Then, milliseconds of awkwardness comes.

"Haha.. Ga penting, ya?" Katanya lagi.

"Ya, kan expected." Jawabku asal.

Iya. Bukannya sebelumnya sudah pernah gue tebak ya hasil dari cerita dia selama ini? Dan bukannya ide buat dia balikan sama mantannya itu sendiri, justru datangnya dari gue? Kalau, iya, lantas kenapa harus hit me dong?

XXX has join the meeting

Mas X, superior kami join, dan sukses nyelametin gue atas awkwardness yang terjadi ini - yang kayaknya gue bikin bikin sendiri dan cuma gue aja yang ngerasa, deh-. Informasi soal dia resmi balikan dengan mantannya pun berhenti, berganti dengan sharing progress kondisi tim dan pekerjaan kami di minggu itu.

Mic gue mute. Kepala ini ga bisa di-mute.

Kenapa harus kaget?

Apa karena......

Please, jangan dong.
Gue udah capek patah hati.