Rabu, 28 Juni 2017

Ingin Segera Menikah

Sebenernya, selayaknya wanita generasi millenial di zaman sekarang, saya juga termasuk dari perempuan yang nggak cengeng minta dinikahin cepet-cepet sama laki-laki atau pengen banget buru-buru nikah bahkan ketika laki-lakinya belum ada. C'mon, ini 2017. Bukan berarti saya nggak bisa hidup kalau nggak hidup sama laki-laki.
Biar begitu, ini juga nggak berarti saya masuk dalam bagian kaum-kaum anti nikah. Nikah itu penting buat saya. Lebih banyak positifnya daripada negatifnya. Bagian dari ibadah, membuka pintu surga dan rezeki, meneruskan keturunan, dan banyak lagi lainnya.

Saya sendiri juga sebenernya bukannya nggak mau menikah. Walau sekarang saya lebih sibuk cari duit daripada cari jodoh, tapi ada lah sekali dua kali saya ngebet banget pengen nikah. Apalagi di usia saya sekarang, rupanya udah mulai masuk usia rawan fitnah. Dan saya justru lebih dekat dengan teman laki-laki saya dibanding teman perempuan saya, jadi orang lain sering salah paham. Di kantor saya digosipin sama siapa, di peer group saya digosipinnya sama siapa, di lingkungan rumah, gosipnya lain lagi. Sedih.

Keinginan untuk segera punya pasangan sebenarnya mulai muncul di awal tahun ini. Saya pengen banget punya pasangan dengan segala alasan di baliknya, insyaAllah untuk alasan-alasan yang baik. Untuk alasan yang mungkin kurang baik dan agak konyol adalah karena saya pengen ke luar negeri lagi. Jadi, Bapak saya itu susah banget ngizinin saya buat pergi ke luar negeri sendirian. Sudah nggak kehitung berapa kali kami adu argumen tentang safe atau tidaknya saya pergi solo backpacking ke luar negeri. Saya mengalah. Setelah terakhir pergi solo backpacking ke luar negeri di tahun 2015, saya belum ke mana-mana lagi sampai saat ini. Itu tadi, Bapak saya parnoan dan kebanyakan nonton Banged Up Abroad.
Dan kenapa saya ngotot pergi ke luar negeri sendirian, sebab saya males nungguin orang lain atau temen-temen saya, yang nggak punya keinginan sama kayak saya. Jalan-jalan tuh buat kebanyakan orang jadi kebutuhan tersier, sementara buat saya jadi kebutuhan sekunder. Saya lebih baik nggak punya baju banyak daripada nggak jalan-jalan. Kenapa nggak ikut tur? Mahal, lagian sama aja nggak boleh sama Bapak saya.

Sebenernya intinya satu sih, Bapak saya tuh pengen anaknya jadi anak rumahan diem. Nah sayangnya, energi saya kebanyakan, dan jiwa saya nggak di rumah nor di tempat saya tinggal. Saya suka hidup nomaden, ngeliat tempat-tempat baru, kenalan sama orang baru, beradaptasi, terus cabut, terus diulang lagi prosesnya dari awal.

Makanya salah satu alasan saya pengen cepet-cepet nikah adalah karena saya pengen bisa jalan-jalan dan ngga dilarang bapak saya. Absurd emang alasannya. Tapi kalau kamu jadi saya, atau minimal jadi teman dekat saya, kamu pasti ngerti kenapa saya kayak gini. :"D

Senin, 26 Juni 2017

Perusak Moment Lebaran

Hari raya, khususnya lebaran, harusnya jadi momen yang membahagiakan buat semua orang. Gimana enggak, setelah satu bulan puasa, sebagian orang jadi bahagia karena jam makan dan tidurnya akan kembali lagi menjadi 'normal'. Setelah sekian bulan berjauhan, anak-anak yang merantau, bahagia bisa pulang ke rumah dan bertemu orangtua. Keluarga yang terpisah, bahagia karena bisa bertemu lagi dengan kerabatnya. Lebaran memang menyenangkan dan membawa kebahagiaan buat banyak orang, bahkan nggak cuma buat yang merayakan, tapi juga yang nggak merayakan bisa ngerasain bahagianya hari lebaran.

Tapi, momen lebaran yang penuh bahagia dan suka cita ini juga kadang suka bikin waswas. Seringkali kita justru ketemu sama perusak-perusak momen bahagia ini di saat lebaran. Apalagi kalau bukan ketemu sama geng kepo yang suka ceriwis nanyain ini itu? Saya yakin kamu pasti pernah ngerasain ini, at least sekali seumur hidup! Ditanyain ini itu yang bikin kamu awkward buat ngejawabnya. Nggak dijawab kesel, tapi kalo dijawab bikin sakit hati.
'Kok gendutan sih?', 'Siapa pacarnya sekarang?', 'Gimana, kok sampai sekarang belum keliatan jodohnya?', 'Udah lama kan lulusnya? Kok belum dapet kerja?', dan banyak pertanyaan lain yang ngeselin.

Semakin ke sini, entah kenapa saya ngerasa kalau kita (masyarakat Indonesia), sepertinya memang perlu edukasi soal bagaimana berbasa-basi yang baik, terutama dengan orang yang baru kita temui lagi setelah beberapa lama. Kita harus bisa ngebedain, bagaimana caranya 'menanyakan kabar' tanpa perlu mengulik privasi orang lain secara berlebihan.  Buat saya, tidak bertanya tentang hal-hal pribadi berbeda dengan tidak peduli.
Saya baru saja sekilas melihat video di Facebook BBC Indonesia tentang bagaimana etika berbasa-basi ketika lebaran (bertemu keluarga setelah lama nggak ketemu) menurut psikolog Roslina Verauli. Saya baru tau, ternyata basa-basi ini tergantung sama siapa lawan bicara kita (hmm iya sih). Contoh di video itu adalah misalnya ketika kita ngomong sama anak usia SD, kita lebih baik bertanya apa hobinya dibanding bertanya kemarin ia peringkat berapa, karena ternyata untuk anak seusia itu, achievement adalah masalah sensitif. Sedangkan bagi orang seusia saya (20-30 tahun), urusan jodoh dan karir yang menjadi masalah. Menurut Mbak Rosliana ini, sebenernya ketika berbasa-basi ini, seharusnya kita lebih mementingkan nilai-nilai keakrabannya (yang emang jadi niat awal kita) daripada nilai kompetisinya, toh kita nggak lagi menilai orang. Makanya, lebih baik kita mulai memilah-milih lagi pertanyaan yang akan kita ajukan, sebelum malah bikin kesel orang lain.

Kadang memang kita (duh, apalagi saya) suka nggak mikir panjang sih ketika bertanya sama orang lain. Kita nggak tau proses dibalik jawaban dari pertanyaan yang kita ajuin. Bisa jadi memang berat buat orang yang kita tanya, walaupun sepele banget menurut kita. Kayak misalnya ditanya, 'kok belum dapet kerja?', kita nggak tau kalo ternyata orang yang kita tanya itu sudah ikhtiar sekian lama demi dapet pekerjaan. Tentu memalukan dan menyedihkan buat orang-orang yang ditanya kayak gitu, karena harus memberi jawaban negatif walau dia sudah berusaha jujur.

Point yang menarik buat saya dari masalah ini adalah penting buat kita untuk mengubah pertanyaan-pertanyaan atau ucapan-ucapan yang kita lontarkan ketika berbasa-basi. Seperti misalnya tadi, daripada bertanya tentang achievement yang diraih oleh anak usia SD, kita lebih baik bertanya tentang hobinya sekarang atau hal yang paling dia suka sekarang. Daripada harus mengeluarkan komentar-komentar negatif akan kekurangan orang lain, lebih baik kita fokus untuk melihat sedikit saja sisi positifnya, kayak misalnya jika ada orang yang masih betah 'sendiri', daripada bertanya kenapa belum juga ia bertemu jodohnya, lebih baik jika kita memujinya yang mungkin saja sedang meningkatkan kualitas diri. Ini, saya sharing foto yang saya ambil dari postingan teman yang menyadur dari orang lain dan tercantum di situ. Mungkin bisa membantu kita untuk meminimalisir kemungkinan melukai orang lain.

Sedikit sharing pengalaman saya, walau nggak penting dan terlihat pathetic, tapi terlalu gatel buat saya pendam sendiri.

Jadi gini. Kebetulan saya pernah pacaran sama tetangga saya, dan hampir semua tetangga saya yang lain tau cerita kami. Sayangnya, hubungan saya dengan si pacar harus berakhir sekitar 3 tahun yang lalu. Lebih sayangnya lagi buat saya, si mantan pacar saya itu kebetulan lebih dahulu menikah daripada saya. Bisa kamu bayangin betapa senewennya saya menghadapi komentar-komentar tetangga sekitar saya soal ini? Saya berusaha mengerti, kalau mereka sebenarnya berniat untuk bercanda, walau nggak jarang saya juga sedih, karena kadang komentarnya nyebelin, kayak misalnya, 'kok kalah sih, si itu aja udah nemu yang baru', atau apa lah. Mereka nggak tau apa yang udah saya alami, karena saya berusaha untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi daripada muncul fitnah yang nggak jelas dan merugikan dua belah pihak.
Walaupun udah tiga tahun berlalu, dan bahkan dalam beberapa kesempatan saya juga udah lupa kalau saya pernah pacaran sama mantan pacar saya itu (yang saya yakin juga sebaliknya), ternyata tidak dengan tetangga-tetangga saya. Bedanya, beberapa dari mereka sekarang sudah lebih mengerti. Walau masih memasang wajah seolah-olah nasib saya menyedihkan, tapi mereka nggak lagi berkomentar yang sifatnya negatif. Sebaliknya, mereka justru mendoakan saya supaya segera bertemu jodoh dunia akhirat saya, supaya saya mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, bahkan berdoa supaya saya bernasib lebih baik daripada yang bersangkutan (ok, well ini berlebihan). Saya sendiri bingung kenapa orang-orang ini nggak move on juga dari cerita lama saya. Tapi bagaimana pun, walau saya masih ngerasa saya sedang 'dikasihani', saya mencoba berusaha untuk berpikir positif, bahwa orang-orang ini peduli dengan saya dan menginginkan sesuatu yang baik untuk saya. Dan tentu saja, saya juga berharap bahwa setidaknya ada satu dari doa-doa tersebut yang dikabulkan dengan segera sama Allah, supaya membahagiakan saya dan orang-orang di sekitar saya, termasuk mereka yang tadi mendoakan.
Di sini titik sadar saya, bahwa hanya perlu sedikit usaha untuk mengubah suatu hal menjadi lebih positif. Dalam kasus ini, kita harus bisa mengubah pertanyaan atau ucapan yang sekiranya mampu melukai perasaan orang lain, menjadi pujian atau doa untuk kebahagiaan orang tersebut.
Jadi, tidak perlu kita merusak momen bahagia orang lain di saat lebaran, saat kita sebenarnya sedang berlomba-lomba mengumpulkan maaf dari orang lain akan dosa setahun sebelumnya. Belum tentu juga kita berjiwa ksatria untuk memohonkan maaf dari orang yang kita sakiti. Atau, apa kita siap harus menunggu satu tahun lagi untuk tulus meminta maaf?

"Barang siapa beriman pada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau lebih baik diam." (H.R. Bukhari & Muslim)

Minggu, 11 Juni 2017

Memutuskan untuk Berhijab

Bismillah.

Setelah mengalami pergolakan batin sekian tahun, entah kenapa kali ini gue bener-bener pengen berhijab. Dan insyaAllah mulai besok setelah sebelumnya gue berencana setelah lebaran idul fitri ini.

Entah kenapa memutuskan untuk berhijab kali ini bikin gue jadi nervous banget.
Ini sebenernya bukan sesuatu yang wow atau gimana emang. Ini tuh ga lebih dari cuma upaya buat berhenti ngelakuin dosa yang udah sekian tahun gue lakuin, dan juga bikin orang lain yang ngeliat gue ikutan dosa padahal mereka ga tau apa-apa. Dan yang lebih jahat lagi, bikin bokap gue semakin melangkah mendekati neraka.

Sampai detik ini, jujur aja gue masih ragu. Masih nanya ke diri sendiri, apa ini keputusan yang tepat walaupun gue tau itu bukan sesuatu yang harus diputuskan. Sudah ada yang memutuskan, kita (gue sih lebih tepatnya) cuma tinggal jalanin aja.

Apa niat kali ini tulus karena Allah ya? Atau hanya sekedar kepengen doang?
Apa nanti gue bakal istiqomah dengan keputusan ini?
Apa gue bakal berubah jadi lebih baik?

Berhijab di jaman sekarang identik sama yang namanya hijrah. Dan hijrah itu artinya lo meninggalkan yang dulu-dulu yang nggak baik jadi jiwa jiwa yang lebih baik. Gue kira-kira bisa ga ya kayak gitu?

Gue inget, gue punya temen di Instagram yang berhijrah. Dan proses hijrahnya dia itu kayak ngagetin banyak orang karena itu tiba-tiba banget. Dia dulunya manusia sekuler garis keras, pecinta kebebasan tanpa batas. Tiba-tiba dia berhijrah dan ngehapus semua cerita masa lalu dia. Dan ada di satu poin di mana dia bilang kalau dia udah sama sekali nggak punya keinginan buat nengok ke belakang ke masa lalunya dia.
Nah! That's what exactly I want ketika gue berhijrah nanti. Kalo bisa nggak setengah-setengah. Tapi sampai detik gue menulis ini, gue justru masih ngintip-ngintip ke belakang, questioning nanti kalo udah berhijab masih bisa gini ga ya, masih bisa gitu ga yaa.

Kata Fathiraz, beribadah itu memang harus dipaksa apapun alasannya. Tapi gue ga pengen itu jadi suatu paksaan yang bikin gue justru jadi nggak nyaman buat jalaninnya. Gue mau semua dilakuin dengan ikhlas. Tapi emang kalo nunggu gitu, gue mungkin baru akan berhijab nanti dan memperpanjang masa bakti gue di neraka.

Gue sendiri sadar berhijab bukan berarti gue kayak haji mabrur yang kemungkinan dosanya dihapus dan jadi suci. Berhijab cuma langkah awal, dan jadi penanda juga pengingat buat gue pribadi untuk berkelakuan layaknya ajaran agama yang gue yakini.
Dengan berhijab juga nggak bikin gue langsung berubah jadi Zahratul Jannah atau Mega Iskanti. Tapi ini juga bisa jadi langkah awal yang memungkinkan gue bisa jadi sebaik mereka. Ini juga jadi awal mula aturan-aturan hidup yang baru, bahwa ada beberapa hal yang perlu gue tinggalkan di masa lalu. Toh, janji Allah kalau seseorang berubah menjadi baik, ia akan mendapatkan lebih lebih dari apa yang ia tinggalkan.

Dan akhirnya, setelah sekian tahun mempertanyakan 'kenapa sih harus?' dan terlalu banyak pertanyaan 'kenapa' yang gue lontarkan untuk hal-hal yang sebenernya harusnya gue yakini, gue akhirnya memutuskan buat berhijab.
Walaupun di dalam hati kecil ini gue masih berkeyakinan kalau berhijab ini adalah masalah hati (well, even buat gue agama itu masalah hati makanya disebut keyakinan), tapi pada akhirnya gue bersyukur hati gue kali ini yakin.
Agama memang ternyata tentang sesuatu yang kita percaya dan kita yakini. Segala sesuatunya tentang berkorban, ikhlas, dan cinta. Ada banyak yang nggak bisa dijelasin secara logika (menurut gue pribadi, walau ini ternyata salah karena gue lupa pernah baca di mana, katanya logika itu ga bisa dipisahkan dari agama). Intinya, ini tentang cinta, yang bikin orang yang nggak cinta nggak ngerasain apa-apa yang dialami orang-orang yang lagi jatuh cinta.

Dan buat temen-temen yang sempet gue curhatin masalah ini, gue mau berterima kasih banget. Gue selalu berdoa, semoga apa yang udah kalian sampaikan ke gue, bisa jadi pahala buat kalian kelak. Asthary, Wahdah, Mas Hasan, dan terutama Fathiraz, yang nggak cuma sekali dua kali mengingatkan, tapi beribu kali, setiap kita ketemu sejak tahun 2014. Mulai dari caranya yang paling lembut kayaknya ngejelasin, ngasih cerita yang bagus-bagus, minjemin buku 99 Hijab Stories, sampai makin ke sini makin galak karena gue dilembutin ga berubah berubah juga.
Ada satu percakapan dari si item yang lumayan bikin gue jadi ngebuka hati waktu itu, waktu di kereta dia nanya kenapa gue selama ini sholat. Waktu mau gue jawab dia bilang, 'nggak usah dijawab panjang-panjang lah intinya karena wajib kan, yaudah lo samain aja prinsip berhijab sama sholat'. Ini nggak sepenuhnya bener dan bukan kata-kata paling cemerlang sih, tapi at least kata-kata ini justru yang bikin gue mikir. Lah gue ngapain ragu, ngapain nanya-nanya, ngapain masih males-malesan, kalo prinsipnya sama kayak sholat.

Ya balik lagi sih masalah hati. Memulai sesuatu yang sebelumnya nggak pernah dilakukan itu emang susah dan berat awalnya. Termasuk beribadah. Kata Fathiraz lagi, kalau beribadah itu mesti liat liat lagi kenapa bisa sampai nggak dikerjain, kalo emang nggak bisa dikasih janji-janji manis dari Allah, liat peringatannya. Kalau masih nggak takut, periksa lagi hatinya, mungkin ada yang salah. Kalau masih ada niatan tapi belum juga dilaksanakan ya dipaksa aja dari diri sendiri. Bukan maksa yang gimana sih, tapi berusaha buat ngelakuin itu terus menerus secara pelan-pelan, sampai nanti jadi kebiasaan. Awalnya, mungkin bisa jadi alasannya karena apa aja, nanti setelah terbiasa insyaAllah bakalan nemu kalo apa yang kita lakukan ini semata-mata karena cinta sama Allah dan agama islam. Hampir sama kayak cinta ke manusia, cinta sama Allah ini prosenya bukan cuma dicari, tapi juga ditemukan, dirasa, dibangun, dan dipelihara. Semoga kita adalah yang termasuk dari orang-orang yang menemukan dan bisa ngejaga cinta itu.

Bismillahirrahmannirrahiim,
Allahuma, ya muqallibal-qulub, thabbit qalbi 'ala dinik wa'ala thoatik.

Ya Allah, Tuhan yang membolak-balikan hati, tetapkanlah hatiku dalam agamamu dan ketaatan.

Aamiin

Jumat, 09 Juni 2017

A Woman with Dreams Needs a Man with Visions

Saya lupa pernah baca ini sekilas di mana, kayaknya di instagram seorang teman. Maaf buat temen saya itu kalau saya sampai lupa siapa yang ngepost quote itu sebenarnya, postingannya kalau nggak salah udah lama banget. Saya baca sekilas, tapi memori fotografi saya mampu merekam kata-kata itu (walau mungkin nggak sama persis) sampai sekarang.

Saya hampir 100% setuju dengan pernyataan itu.

Buat saya, memang, seharusnya dua orang tersebut, si perempuan dengan mimpi-mimpinya butuh laki-laki dengan visi-visinya. They will be a dynamic duo! Okelah, rasanya nggak perlu kita bahas urusan perempuan dan laki-laki, atau siapa lebih butuh siapa.
Tapi...

Pernah bayangin nggak sih, kalau kamu punya mimpi. Apa saja lah, asal bukan mimpi basah. Sebut saja, ketika sudah menikah nanti kamu ingin tinggal terpisah dari orangtua masing-masing. Atau, kamu ingin dapat beasiswa entah itu Erasmus atau LPDP dan menjadi bagian dari manusia-manusia diaspora. Atau, bermimpi menjelajahi dunia. Bukankah seru jika itu semua diraih bersama orang-orang yang ingin berjuang? Menjadi support system untuk masing-masing, mengingatkan, menanyakan progress pencapaian, mendengarkan keluhan, atau berpelukan merayakan kesuksesan.

Sekarang, mari bayangkan jika berbalik kejadiannya. Kamu punya mimpi, untuk sama-sama berhasil dalam suatu hal. Tapi, rekanmu itu tidak punya semangat yang sama besar dengan kamu. Atau mungkin ia punya tapi hanya sebatas di kepalanya. Lecutan semangat hanya berhenti di ujung bibirnya.
Kamu tidak akan merasakan euforia yang sama dengan orang yang sama-sama ingin berjuang.

Bete kan ya kalau ternyata supply tidak sesuai dengan demand layaknya prinsip stabilitas. Itulah mengapa saya sangat setuju dengan quote di atas tadi.

Baru-baru ini saya dan seorang teman punya satu misi. Dan ternyata, semakin hari, saya sadar kalau teman saya ini tidak punya keinginan yang sama besarnya seperti saya. Ketika saya ingin melaju, dia bahkan belum berencana untuk melangkah. Sebagai teman, jujur saya kecewa. Kami merancang semuanya berdua, mengucap harap bersama. Tapi, melihat pergerakannya, ini justru menjadi pertaruhan buat saya. Jelas lebih bahagia kalau pada akhirnya saya dan dia berhasil mewujudkan misi kami secara bersamaan. Tapi menunggu dia untuk bergerak, sama saja dengan membuang waktu dan kesempatan saya untuk mendapatkan yang lebih dari apa yang kami harap sebelumnya, atau malah skenario terburuknya kami sama-sama melewatkan kesempatan itu karena sama-sama tidak bergerak.

Inilah yang pada akhirnya membuat saya yakin bahwa ada bersama dengan orang(-orang) yang juga punya mimpi dan cita-cita, buat saya sangat penting untuk menjaga kita untuk tetap ada di jalur yang betul. Menjaga kita supaya tetap berfokus pada satu titik akhir, menopang ketika melemah, menyemangati ketika meragu, dan bersuka cita saat tiba di titik tujuan. Orang dengan mimpi yang sama besarnya denganmu (atau mungkin lebih hebat), akan tau bagaimana rasanya berjuang. Sementara orang yang mimpinya tidak sebesar milikmu, atau malah mungkin tak ada, kontribusinya hanya akan menambah rasa ragu akan kemampuan diri. Itulah sebab pepatah berbunyi, 'jika engkau berkawan dengan tukang minyak wangi, sudah pasti kau tertular baunya. Hal yang sama jika engkau berkawan dengan pandai besi'. Maka, jika kamu punya mimpi-mimpi dan cita-cita yang luar biasa, jangan buang waktumu dengan orang-orang yang biasa. Cari orang yang bisa menyalurkan energi positifnya dan menjadi simbiosis mutualisme yang baik untuk hidupmu. Duh, jangan sampai deh kamu geregetan kayak saya ngeliat si temen saya itu!