Rabu, 29 Januari 2014

Timnas Kami, Timnas Indonesia.

Piala AFF 2010 rasanya yang paling pas untuk dibilang sebagai titik bangkit geliat sepakbola Indonesia. Saya juga bukan orang yang fanatik terhadap sepakbola, hanya sekedar suka dan menikmatinya. Tapi juga bukan orang yang apatis. Saya tau sebelumnya kompetisi itu bernama Piala Tiger, dan Thailand adalah jagoannya. Tapi, pada saat Piala AFF 2010, rasanya semua mata Indonesia fokus pada timnas.

Itu adalah pertama kalinya Indonesia memanfaatkan tenaga para pemain naturalisasi, mengikuti jejak timnasional Singapura. Disitulah kita melihat pertama kali wajah bule Irfan Bachdim dan wajah latin Christian Gonzales. Support dan bantuan dari dua pemain asing tersebut jelas tidak bisa dielakkan mampu mendukung performa permainan tim saat itu. Mereka berdua bahkan bisa menggeser posisi legenda hidup, Sang Kapten, Bambang Pamungkas sebagai striker utama timnas.

Sebelumnya, fokus berita belum pada keseluruhan timnas. Seingat saya hanya pada pemain-pemain naturalisasi yang pada saat itu masih tersandung beberapa proses yang harus mereka selesaikan untuk menjadi warga Negara Indonesia. Namun, pada akhirnya, euphoria kompetisi sepakbola semakin terasa. Lihat bagaimana kita bangga pada timnas yang pada pertandingan pertama mampu menaklukkan Malaysia 5-1. Pertandingan melawan Malaysia jelas mempunyai tendensi yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Pertandingan tersebut tidak berhenti hanya sebatas sepakbola, tapi juga gengsi. Jangankan 5-1, menang 1-0 pun masyarakat Indonesia pasti sangat senang kala itu.

Terlepas dari Malaysia, jelas kemenangan timnas sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Kemudian setelah itu, berbondong-bondong masyarakat mulai menaruh perhatian besar pada timnas. GBK seketika penuh. Orang-orang rela kesana setelah lelah pulang beraktifitas di kantor, kampus, bahkan sekolah. Itulah saat pertama kalinya saya masuk ke dalam stadion utama tim nasional Indonesia. Dan disitulah untuk pertama kalinya saya melihat rombongan teman, supporter, keluarga datang ke satu titik, GBK, untuk mendukung timnas.



Kemenangan demi kemenangan yang diraih timnas semakin meningkatkan perhatian masyarakat. Antrean penjualan tiket mengular di Senayan. Acara nonton bareng menjamur dimana-mana. Rating TV melonjak hanya untuk siaran final AFF. Semua itu terjadi karena kami, masyarakat Indonesia rindu akan tim nasional, yang member kebanggan pada kami.

p.s. Ini tulisan gue?

I Know..

I know to whose this picture is belong to......



agak sedikit salah sih kayaknya.
hhaha..
tapi pada akhirnya akan ada gambar yang lain.
caption-nya, "Aku cuma mau baikan, bukan mau balikan."

Terima kasih untuk senyum yang dibagi malam ini.
:)

Inspirasi.

Inspirasi itu bagai kelelawar, mereka tidur di siang dan beterbangan di malam. Saya sering melihatnya di malam, bahkan beberapa berhasil saya tangkap. Pasti inspirasi suka keheningan. Dan kegelapan. - @emgalih

Cintanya...

kau mencintai Tuhanmu melebihi apapun.
bahkan untuk dia yang kau cinta.
cinta yang kau berikan padanya selama aku mencintaimu.

ragu untukku melihat sisa.
sedikit sisa untukku yang selalu ku minta pada Tuhanku.
Tuhan, kalau ia mencintaiMu seperti itu, maukah Kau membaginya sedikit untukku?
Tuhan aku yakin Kau pun mencintainya.
dan aku yakin Kau pun mencintaiku.
Tuhan, selama ini ku dengar darinya, Kau beri dia apa yang dia mau.
Kali ini, bolehkah ku minta Kau beri aku dia, dia yang ku mau.


ah, ingin rasanya ku cemburu.
tapi, pantaskah aku.
mungkin untuk sekedar iri pun rasanya tidak.

namun saat ku lihat senyumnya, ku sadar bahkan ia tak memilihku.

namun Tuhan, untuk segala kesempatan yang kau berikan itu,
kuucap terima kasih untukMu.
terima kasih telah mengizinkanku melihatnya.
terima kasih telah mengizinkanku untuk mengenalnya.
dan terima kasih telah mengizinkanku mencintainya tanpa pernah ia tau.

tapi Tuhan, kalaupun aku tak berhak untuk mencintainya,
izinkan aku untuk mencintaiMu.
jauh melebihi cintaku padanya.
karena ku tau ia mencintaiMu melebihi apapun yang ia cinta.

p.s. curhat malam-malam emang fak banget. :D

Hidup Itu Kerja Keras ;)

P.S. Pembicaraan hari ini dengan seorang teman mengingatkan gue akan note ini, yang gue bikin sekitar tahun 2011. Itu tulisannya gue singkat-singkat soalnya gue nulis di BB, di patas, jadi ribet.

Satu hal yg gw seneng dari angkot adalah, gw bisa belajar byk hal dari situ apalagi kehidupan.
Hari ini gw nguping orang ngomongin temennya. Nama temennya ini Nano, dia anak rantau dan agak bebel gt, dan hidupnya ga jelas krn blm dapet kerjaan, sementara bokapnya ga mau ngirimin dia duit.
Jadi dia maunya kerja di perusahaan2 internasional gitu, kaya chevron atau freeport, sementara dia ga punya modal apa2. Nano bkn sarjana istimewa, dgn ipk biasa aja dan tanpa achievment apapun dr kampus, yg kalo dibandingin sama pelamar lain di PT itu (salah satu Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia), jelas dia kalah.
"jadi orang jangan terlalu tinggi lah. Punya kemauan itu boleh, tapi harus ngukur diri juga. Jgn mau gampangnya doang, sementara ga ada effort dari kitanya. Hidup itu buat kerja keras. Kalo engga kita pasti kalah sama orang lain," kata orang di angkot itu.
hmm, kata2nya ngena bgt buat gw. Gw tuh bukan pekerja keras, gw pemalas. Ampe bokap-nyokap gw kesel bgt ama gw karna gw useless gtu lah. Gw juga ngerasa sih.
Walau gw sadar hidup itu untuk kerja keras, dan gw pernah ngerasain indahnya nikmatin hasil kerja keras, gw masih belum berubah. Gw sendiri juga kesel kenapa selama ini cuma sebatas niat! Ga berubah. Cuma di hati, ga terus ke otak buat di proses lebih lanjut.
Gw sadar, seharusnya yg kita pelajari bukan keberhasilannya, tapi proses dari kerja keras itu. Banyak hal yg udah gw pilih dan dalam prosesnya gw sadar kalo pilihan gw itu salah.
Sekarang gw kuliah di UI, kampus impian gw. Walaupun ini kampus impian gw, ini bukan sepenuhnya pilihan gw. Gw sebenernya ga mau kuliah. So far, gw ga tau pilihan gw ini bener atau salah.
Sebenernya gw jg ga seneng2 bgt masuk UI, karna gw cuma dpt d3 kom. Target utama gw s1 komunikasi, selain itu gw pgn sipil, arsi atau interior. Tapi males lah ama itungan.
Satu hal yg bikin gw seneng adalah, BC itu adalah hasil kerja keras gw. Sementara wkt itu temen2 gw sibuk ama UN, gw malah sibuk ama simak. Gw pelajarin th IPS, yg ga pernah gw pelajarin selama SMA. Ampe gw mabok gunung-sungai, sejarah, dan adam smith.
Itu juga sebenernya ga kerja keras bgt sh. Dari seharusnya 9x BTA, gw cuma masuk 6x. Itu jg dicampur pelajaran UN anak SMA, sisanya gw pelajarin yg gw mau aja ama yg sering keluar.

Banyak hal yg gw dapet dr kerja keras. Termasuk kegagalan. Gw juga sering gagal.
Pertama ketika gw rangking 33 pas kelas 1. Gw ga begitu pduli walau gw agak kesel karna gw yakin gw bisa lebih baik dr banyak orang. Tapi akhirnya gw berusaha jg ampe pas kelas 3 gw masuk 10 besar.
Kedua, yg paling bodoh adalah ketika gw gagal masuk Undip. Istilah kasarnya, gw th cuma nyapein diri sama buang2 uang! Gw sama sekali ga niat daftar itu. Dan itu bikin gw belajar. Gue ga akan berjuang untuk hal yang ga bener2 pengen gw perjuangkan.
Gagal yang lain, yg cukup ngecewain, adalah yg baru2 ini. Gw gagal jadi produser di radio kampus. Gw kecewa karna pengorbanannya cukup banyak.
Padahal gw seneng bgt tuh pas dapet sms panggilan kedua. Eh ternyata gw gagal. Setelah di press, gw kedepak. Ya, banyak orang hebat dan calon orang hebat disitu. Dan gw akui, gw bukan orang yang kreatif.
Kalo kata Maliq, 'yang kau inginkan tak selalu yang kau butuhkan'. Tapi buat gw, gw mau yang gw butuh. Kadang banyak hal yang lepas dari kalkulasi gw, yg bikin gw ga dapet apa yg gw mau.
Malah gobloknya, kadang kegagalan itu gw sendiri yang buat. Gw masih ga pernah cukup bekerja keras. Gw masih kalah dari banyak orang.
Orang bilang, gagal itu keberhasilan yang tertunda. Iya, karna dari kegagalan kita belajar untuk berhasil. Tapi masalahnya kita sering ga belajar dari kegagalan dan nganggep gagal itu harus dilupain. Gimane mau maju, kalo lo ga tau apa yang bikin lo gagal dan apa yang harus lo benerin.
Tapi ga cukup disitu, ampe gw juga sadar, kita juga harus maju dan ga boleh stuck sama satu hal.
Pernah suatu kali gw ngedown, ketika lagunya boys like girls yang judulnya go, menyadarkan gue.
Gw kadang ga bisa cerita hal2 pribadi gw, bahkan ke orang terdekat gw. Bahkan ketika gw down dan butuh temen. Lagu ini yang jadi temen gw.

Boys Like Girls - Go

Little change of the heart
Little light in the dark
Little hope that you just might find your way up out of here
‘Cause you’ve been hiding for days
Wasted and wasting away
But I got a little hope that today you’ll face your fears

Yeah I know that it’s not easy
I know that it’s so hard
Follow the lights to the city
And get up and

Go, take a chance and be strong
Or you could spend your whole life holding on
Don’t look back just go,
Take a breath, move along
Or you could spend your whole life holding on
You could spend your whole life holding on

Believe the tunnel can end
Believe your body can mend
Yeah I know you can make it through
‘Cause I believe in you
So let’s go put up a fight
Let’s go make everything alright
Go on and take a shot go give it all you got

Oh yeah I know that it’s not easy
I know that it’s hard
Yeah it’s not always pretty

Get up and go,
Take a chance and be strong
Or you could spend your whole life falling on
Don’t look back just go,
Take a breath and move along
You could spend your whole life holding on
You could spend your whole life holding on

Don’t wanna wake up to the telephone ring
Are you sitting down?
I need to tell you something
Enough is enough, you can stop waiting to breathe
And don’t wait up for me

Get up and go
Take a chance and be strong
You can spend your whole life holding on

Don’t look back just go
Take a breath and move along
You could spend your whole life holding on
Get up and go
Take a chance and be strong
Or you could spend your whole life holding on

Don’t look back just go
Take a breath, move along
Or you could spend your whole life holding on
You could spend your whole life holding on
Don’t spend your whole life holding on

Yeah

Selasa, 28 Januari 2014

Selamat Ulang Tahun, Ma!

Ma, selamat ulang tahun.
Tak terasa usiamu sudah mencapai lebih dari setengah abad.
Terima kasih sudah menjadi mama yang begitu baik bagi kami, anak-anakmu.
Terima kasih sudah menjadi orang yang paling sabar di rumah ini.
Terima kasih sudah menjadi orang yang paling kuat dan tabah atas apapun yang kami berempat timpakan padamu.
Terima kasih sudah menjadi penyeimbang bagi kami yang seringkali timpang.
Terima kasih sudah menjadi pengingat di kala kami sudah terlalu lupa diri.
Terima kasih untuk semuanya.

Maaf, Ma.
Maaf untuk banyak hal yang telah kami lakukan kepadamu.
Maaf untuk sejuta kata 'Ah' yang keluar dari mulut ini saat membantahmu.
Maaf untuk seringkali nya kami lalim kepadamu.

Dan secara pribadi, Ayu minta maaf, untuk beberapa hal yang terjadi belakangan ini.
Maaf, jika ternyata ada orang lain yang mengecewakanmu seperti itu.
Biarlah dia yang menjadi peninggi derajatmu.
Biarlah jika masalah-masalah yang muncul menjadikan kedudukanmu lebih mulia di mata-Nya.
Maaf. Maaf. Maaf, jika Ayu sudah memilih sesuatu yang salah.
Insha Allah, setelah ini semua akan menjadi lebih baik dan kita akan diberikan yang terbaik.
Mungkin ini memang waktunya untuk kembali mengabdi padamu, pada Bapak.
Mungkin ini waktunya untuk memperbaiki diri sebagai sulung.

Terima kasih banyak untuk 21 tahun ini.
Terima kasih untuk ada di setiap detik hidup ini.
Terima kasih untuk mau menerima segala lebih dan kurangnya Ayu.

Sekali lagi, selamat ulang tahun, Ma.
Selamat ulang tahun, surgaku.
Ridhoi segala pilihan anak-anakmu, agar lancar dan mudah segalanya.
Semoga di luar segala kesalahan dan dosa yang kami lakukan, kami bisa menjadi penyelamatmu, pembuka jalan surga bagimu dan bagi Bapak kelak.

I Love You, Ma.

Mama waktu baru ngelahirin Ayu

Sabtu, 25 Januari 2014

Jangan bakar buku, atau apa lagi yang mau kau wariskan pada anakmu?

Laki-laki

Aku hidup di lingkungan yang laki-laki sekali.
Aku tau bagaimana seharusnya laki-laki menjadi laki-laki.
Sayang, kamu masih harus belajar.
"Kalau kamu bisa maafin dia, kenapa kamu nggak bisa maafin diri kamu sendiri?"

Jumat, 24 Januari 2014

Mimpi Tentang Kamu Terakhir Kali

Mungkin di kesempatan-kesempatan berikutnya, menulis tentang mimpi akan menjadi hobi baru bagiku, selama itu bukan mimpi buruk.
Mimpi mungkin bisa jadi bunga tidur. Tapi kita juga ga boleh lupa, bahwa sebuah mimpi, bisa jadi datangnya dari setan.
Terakhir aku mimpi tentang kamu, aku bermimpi tentang kita berdua dalam sebuah ruangan yang lebih menyerupai kamar. Kamu memelukku dan bertanya, "Masih sakit ya, Ndut?" Seperti biasanya kamu bertanya padaku.
"Menurut ngana?!" jawabku sambil menamparmu.
Tenang, aku namparnya pelan kok, dan aku masih tersenyum santai mendengar pertanyaanmu itu. (Can you see that? I cant even mad at you in my dream! Sebel!)

And I wish it were just real. Not now, but someday. Ketika kita sudah saling berdamai dengan diri masing-masing. Tapi kalo aku sih udah... Buktinya aku udah nyengar-nyengir pas nulis ini. :p

Pertanyaan Buat Kamu.

Hari Jumat entah tanggal berapa di awal-awal masuk SMA sekitar tahun 2007, gue pernah ditanya sama seorang senior.

"Kalau kamu sekarang ada di antara seorang ibu yang sedang hamil dan saudaramu, yang dua-duanya sedang sekarat, siapa yang lebih dahulu kamu selamatkan? Kamu nggak bisa milih dua-duanya, cuma satu yang bisa selamat, sementara yang lainnya akan mati."

Pertanyaan itu sebenernya tes psikologis. Nggak ada jawaban salah. Jawabannya bener semua. Pertanyaan ini cuma akan menjelaskan diri lo. Waktu itu gue jawab gue akan menyelamatkan ibu yang lagi hamil. Seorang teman lalu ngebentak gue, "Lo gatau gimana rasanya kehilangan saudara lo sendiri!" Gue waktu itu kaget dibentak gitu, dan gue cuma ngejawab, "Tapi lo bisa nyelametin dua nyawa sekarang. Anak itu berhak hidup."

Gue inget se-inget-ingetnya gimana kejadian hari itu. Gue bahkan masih inget muka temen gue yang marah karena gue ngejawab itu (dia baru aja kehilangan saudaranya). Tujuh tahun. Butuh tujuh tahun setelah itu, dan gue baru sadar sama arti dari pertanyaan itu dan jawaban gue hari ini.

Gue terlalu sibuk mikirin orang lain, sampai ga mikirin diri gue sendiri.

Reuni

Sore itu langit masih berwarna kuning cerah. Tampaknya, matahari belum juga mau beranjak dari tempatnya. Naya baru saja selesai mandi. Ia masih sibuk mengeringkan rambutnya, saat pintu rumahnya diketuk seseorang.
Tokk..tokk..tokk 
“Sebentaaar..” katanya sambil berjalan kea rah pintu depan. 
Dibukanya pintu rumahnya. Sejenak ia terkaget.
“Andy!!”
“Hai, Nay! Hha.. Kaget gitu.” sapa Andy ramah.
”Hahaha. Iya lah, kaget gue. Apa kabar, Ndy? Masuk yuk!”
”Kabar gue baik kook.” Jawab Andy sambil duduk di kursi ruang tamu sederhana itu.
“Ah, gila. Tumben banget nih lo ke rumah gue. Ada apa deh?” tanya Naya semangat.
”Engga kok. Gue Cuma mau ngasih ini.” katanya sambil menyerahkan secarik kertas.
”Apa nih?” tanya Naya bingung sambil memperhatikan isi kertas itu.
”Ooooh.. Undangan reunian. Gue pikiiiir, elo mau duluan. Hhaha.” godanya.
”Alah, calonnya aja belum ada. Lo kali duluan.”
”yaaah, gue lagi, Ndy. Belum mikir kesitu tuh. Mau nyelesein kuliah dulu.” katanya sambil memainkan kertas undangannnya.
”Bagus lah kalo gitu. Cepetan lo selesaiin. Kasian nyokap lo, pengen nunggu anaknya make toga.”
”Aaaah, lo jangan ngomong gitu doong. Mentang-mentang udah selesai.”
”Hahaha. Biasa aja ah. Eh, Nay, gue balik dulu yaa. Gue mau nganterin ke anak-anak lain nih.” pamitnya.
”Lo rajin banget deh, Ndy, nganter-nganterin. Sekarang kan udah ada facebook.”
”Nggak apa-apa laah, sekalian gue ngecek anak-anak. Tapi di grup juga ada.”
“Hhaha, nggak salah deh lo jadi kordinator alumni.”
”Haha, gitu deeeh. Yaudah gue balik dulu yaa.” kata Andy sambil beranjak dari duduknya.
”Emm, oke deh. Gue anter sampe pager aja yaa.”
“Yaelaaaaah..” Lalu Naya pun mengantar Andy sampai motornya.
“Bye, Nay!” pamit Andy.
“Bye, Ndy. Hati-hati yaa.” Balas Naya sambil melambaikan tangannya.

---

Ditimangnya undangan yang baru ia dapat dari Andy. Undangan sederhana, yang mampu memebawanya ke memorinya yang lama. Naya beranjak ke kamarnya. Dari laci di sudut kamar, ia keluarkan sebuah album foto. ”Abu-abu”, begitu judul album itu.
Dibukanya perlahan. Sejenak ingatannya kembali ke masa SMA. Senyumnya tersimpul manakala ia membuka lembar demi lembar halaman album itu. Tangannya berhenti pada satu foto, ia dan seorang lelaki. Di rabanya foto itu pelan. Senyumnya getir kali ini.

---

Kantin sekolah, 2007
”Nay, kalo gue perhatiin, akhir-akhir ini lo sering banget ngeliatin Abbi deh. Naksir lo yaa sama dia??” goda Tita, teman Naya saat jam istirahat siang itu.
”Apaan sih, Ta? Gue emang ngeliatin orang-orang aja.” kilah Naya.
”Yaelah, Nay. Gue juga merhatiin kali lo belakangan ini, kalo ada Abbi jadi aneh gitu. Salting!”
”Apaaaaa sih Taaaa? Lo emang paling rese deh.”
”Cieeeee... Nayaaaaa!!”
”Titaaaaaa!! Rese banget!” kata Naya sambil berusaha menutup mulut Tita.

---

Kriiing.. kriiing... Suara dering telepon rumah membuyarkan lamunan Naya. Ia bingung, hari hampir maghrib, siapa yang menelpon. Ia lalu beranjak mengangkat telepon itu.
”Halo..” sapanya
”Nay!” suara di sebrang sudah akrab dengan suara Naya.
”Tita!! Pas banget! Gue baru mau sms lo.” Jawab Naya nggak kalah semangat.
“Nay, lo udah dapet undangan belum?”
”Udah tadi dianter Andy. Lo udah juga?”
“Udaaaaah. Mau dateng nggak, Nay? Dateng yuuuk!!” ajak Tita memelas.
“Iya dateng. Kangen anak-anak. Tapi yang lain dateng nggak, Ta?”
”Tadi gue liat di facebook sih pada dateng. Udah yuuuuk, dateng. Lo free kan tanggal 28 itu?”
“Kayaknya sih free, Ta. Hari Sabtu kan itu?”
”He’eemh. Cuss yuk, Nay. Dua minggu lagi, Nay. Santai aja.”
”Hahaha, oke-okee. Yaudah, nanti bareng ya, Ta.”
”Oke deh. Bye, Nay, maghrib nih.”
”Iya. Bye, Taa.” 

---

Adzan maghrib itu, menemani kesendirian Naya di rumah. Entah kenapa, selembar undangan yang datang sore itu seketika mampu merubah suasana hatinya. Naya berjalan ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Diresapi tetes air yang membasahi wajahnya kali itu. Setelah selesai mengambil air wudhu, Naya pun sholat sendiri maghrib itu. Kedua salam mengakhiri sholat Naya kali itu.
Masih dalam balutan mukenanya, ia termenung. Ingatannya kemabali ke masa lama. Sms dari Abbi yang senantiasa mengingatkannya untuk sholat kembali menguap dari otaknya. Biasanya sms itu hanya terdiri dari beberapa kata, ”jangan lupa sholatnya ya, Nay.” dan terkadang ada beberapa kata tambahan setelah atau sebelumnya. ”Udah makan belum?” atau ”Lagi ngapain, Nay?” Kata-kata yang mampu membuatnya senyum-senyum sendiri memandangi layar handphonenya. Malam itu, Naya berulang kali membuka halaman demi halaman album foto ”Abu-Abu”-nya. Hari itu, dia tau, hanya dengan cara seperti itu, ia bisa memenuhi rasa rindu.

---

Sabtu, 28 Maret 2012

Kriiiing.. kriiing..
“Nayaaaa. Angkat teleponnya.” Seru ibu Naya.
“Iya, buuu. Sebentaaar.” Jawabnya.
Ia bergegas mengangkat telepon yang terus berdering itu.
“Haloo..”
“Haloo, Naya?”
“Iyalah, Ta. Pake nanya lagi lo.” Jawab Naya asal.
“Eh, udah siap belum lo?”
“Bentar lagi nih, Ta. Emang lo udah siap?”
”Udaaah. Kalo lo udah siap gue langsung cuss nih jemput lo.” Naya terdiam. Ia bahkan tak yakin ia siap untuk hari ini.
”Halo? Nay? Woy?” panggil Tita berkali-kali.
”Eh, iya Ta?”
”Kok diem sih lo?” tanya Tita bingung.
”Gue belum siap nih, Ta. Masih lama kayaknya.”
”Yaaaaaah, lo gimana siiih?”
”Aduuuh, sorry deh, Ta. Lo mau duluan atau mau tetep nungguin gue?”
”Yaudah gue tungguin deh. Buruan ya, Naaay.” Seru Tita.
“Oke deh, Ta. Gue siap-siap nih.”
”Yaudah, Bye.”
”Bye..”

---

Naya kembali ke kamarnya. Dibukanya pintu lemarinya. Dipilihnya baju-baju yang ada disana. Satu dicobanya, nggak cocok. Begitu juga yang kedua. Entah mengapa, rasanya ia ingin berdandan manis hari ini. Ia ingin tampil berbeda hari itu. Diambilnya simple dress dari lemarinya. Ia coba mengenakannya. Ingatannya kembali lagi. Kali itu, ia sedang menunggu bis di depan gerbang sekolahnya. Abbi setia menemaninya siang itu. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Seorang perempuan muda keluar dari mobil itu. Penampilannya sederhana, hanya dengan simple dress dan sepatu flat. Ia bertanya arah jalan pada mereka berdua. Setelah perempuan itu pergi, Abbi berkata pada Naya,
”Aku paling suka deh kalo perempuan pake dress gitu. Simple. Enak banget ngeliatnya.”
”Ohhh, jadi kamu nggak suka ngeliat aku?” tanya Naya bete.
”Enggaaaaak. Bukan gituuu. Cuma lebih suka aja. Coba kamu kaya gitu.”
”Nggak mau, ah. Ribet.” jawabnya ketus.
”Cieee, sensitif deh.” goda Abbi jail.

---

Sekali lagi Naya mencatut dirinya di depan kaca. Sekali lagi ia ragu. Apa ia pantas mengenakan semua itu. Ini bukan Naya yang seperti biasa. Bisa saja teman-temannya menertawainya. Lagipula, kalaupun kali ini ia cantik untuk Abbi, belum tentu juga ia datang untuk reuni hari ini.
Ia ragu. Kemudian ia ganti bajunya. Kali ini ia lebih memilih mengenakan celana jeans kesayangannya. Ia kemudian memilih satu blouse cantik berwarna pastel. Sekali lagi ia melihat cermin di depannya. Manis. Ia kemudian menguncir rambutnya. Lalu menyapukan bedak di wajahnya. Tak lupa ia tambahkan blush on merah muda agar merona. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Terakhir dioleskannya lipstick di bibirnya. Dandanan yang sangat simpel, namun untuk perempuan cuek seperti Naya, penampilan kali itu bisa jadi spesial. Ia memantapkan dirinya, tahun ini Abbi pasti nggak datang, sama seperti tahun kemarin.

---

Lepas dzuhur, Naya dan Tita tiba di SMA mereka, tempat dimana reuni tahunan biasa diadakan. Naya memegang tangannya sendiri yang lebih dingin dari biasanya. Perasaannya kali ini bercampur aduk menjadi satu. Senang, takut, dan lain sebagainya. Bagaimanapun, di tempat inilah ia memulai rangkaian ceritanya. Cerita yang mungkin takkan pernah ia lupa. Bagaimana tempat ini mempertemukannya dengan cintanya. Bagaimana tempat ini memberinya hari-hari yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan bagaimana juga, tempat itu sendiri yang menguapkan semua ceritanya.
---

Gerbang sekolah, 2007.
”Eeeeh, ini ya. Masih pagi udah berduaan aja.” tegur Pak Umang, satpam sekolah yang paling disayang anak-anak.
”Yaaaah, bapak. Kan biar semangat, Pak.” jawab Abbi sekenanya.

Gerbang sekolah, 2012.

”Siang, Pak Umang!” sapa Tita dengan ceria. Memang kali ini Tita tampak sangat bersemangat. Berbeda dengan Naya yang terlihat sedikit gelisah.
”Eeeeeh, Neng Tita. Gimana nih kabarnya? Baik?” balas Pak Umang dengan ramahnya.
”Baik dong, Paaak. Oh iya, Pak, masih inget sama temen saya yang ini, nggak?” serunya sambil menunjuk Naya yang duduk di bangku penumpang.
”Iiiiih, Neng Naya! Inget atuh, kan dulu waktu sama si aden suka bapak godain.” jawab Pak Umang, sekali lagi membuka memori Naya.
”Ah, bapak bisa aja.” ujar Naya berusaha tenang.
”Cuma berdua aja?” tanya Pak Umang.
”Iya, Pak. Makanya, kita mau masuk nih, Pak. Mau nyari yang lain.” jawab Tita.
“Ooh iya, sok mangga atuh.”
”Makasih, Paak.” jawab mereka berdua kompak.

---

Parkiran sekolah, 2007.
”Nanti kamu pulangnya bareng aku aja, yaa.” ujar Abbi.
”Lah, kan arahnya beda.”
”Yaelaaah, kan sekarang aku naik motor. Santai ajaa.” jawabnya santai.
”Somboooong!!” seru Naya sambil mendorong Abbi.
”Aduh. Kok dorong-dorong sih? Nggak diantern nih.” Ujar Abbi mengancam.
Sekali lagi, gambar itu buyar.

Parkiran sekolah, 2012.

”Naya! Apa banget deh baju lo? Hahaha..” suara di ujung parkiran sana berteriak menyapanya.
”Egiiiii!!! Aaaahh. Kangen! Kangen!” ujar Naya sambil memukul-mukul lengan temannya.
”Aduh, aduh. Sakiit!” kata Egi mengaduh.
”yaaah, lo, Nay. Udah manis bajunya kaya gitu, tasnya pake tas cewek, masih aja mainannya tonjok-tonjokkan.” tegur Alvin.
”hahaha, gue lucu ya? Aduuuh, padahal tadi gue mau pake dress lhoo biar lebih lucuuu.” jawab Naya sok imut.
”yeeee, sarap!” balas Tita ketus sambil meninggalkannya.

---

Kantin sekolah, 2007.

Naya tertunduk lemas dalam duduknya. Di depannya, Abbi duduk kebingungan. Tangan Abbi, meraba kening Naya.
”Badan kamu panas banget. Makan dulu yaa. Nanti aku anter ke UKS.” ujar Abbi pelan. Sementara Naya hanya menggeleng lemah.
”Ayo dong, Nay. Makaaan. Aku suapin. Yaa.” ujarnya lagi.
”eeeemhh..” Naya menolak suapan Abbi. Namun Abbi masih berusaha membujuknya untuk makan. 

Kantin sekolah, 2012.

”Apa kabar, meeen?” seru Egi semangat. Ia lalu menyalami teman-temannya.
”kangen! Kangen! Kangen!” satu persatu pipi teman-temannya Naya cubit. Lalu begitu juga yang dilakukan Tita.
”Awh, dasar duo ratu! Sakit tau!” seru Adit.
”Cemen, ah!” jawab Tita. Naya, mengambil kursi diantara teman-temannya.
Ia kemudian memesan teh botol. Naya, Tita, Egi, dan teman-teman mereka yang lain tampak asyik melepas rindu siang itu. Kemudian pesanan Naya datang. Ia langsung meminum teh botol itu sambil meliat sekeliling. Wrap! Pandangannya berhenti di satu sosok. Jauh darinya. Tapi ia jelas bisa menebak siapa itu. Hampir saja ia tersedak minumannya. Ditaruhnya teh botol itu. Ia lalu bangkit dan menjauh dari teman-temannya. Sekali lagi, hampir saja ia terjatuh. Belum lagi satu menit, sudah dua kali ia hampir mempermalukan dirinya sendiri. Tita yang melihat ada sesuatu yang aneh lalu bergegas mengejar Naya.
”Apa sih, Nay? Lo kenapa?” tanyanya panik.
”Gue nggak bisa disini, Ta. Ayo, Ta. Ayoo!” jawabnya nggak karuan.
”Ayo? Kemana, Nay?”
”Pulang, Ta. Ayooo!” ujarnya memelas.
”Hah? Gila kali lo. Kenapa sih?” tanya Tita heran.
”Abbiiiii..” jawab Naya tanpa bersuara.
”Ooooh. Yah, Nay. Nggak apa-apa kaliii. Ayo ah.” ujar Tita sambil menarik Naya ke tempat mereka sebelumnya.
”Ahhh, Taaaa.” Naya berusaha bersembunyi diantara teman-temannya. Namun, sesekali ia tetap mengintip ke arah tempat Abbi berdiri tadi. Berharap ia bisa melihatnya sekali lagi. Dan ya, itu dia! Bukannya menyapa, Naya malah kembali bersembunyi. Kali ini ia menarik satu teman untuk menemaninya menjauh dari kantin.
”Dan, pokoknya lo temenin gue yaa!” Ujarnya ketus.
“Yaaaah, emang kenapa sih? Kok tiba-tiba kabur?” tanya Dani bingung.
”Gue liat Abbi, Daaaaaan.” jawabnya dengan gaya yang dibuat-buat seakan-akan ingin pingsan.
”yaelaaaaah, Abbi doang. Biasa aja kali.” jawab Dani malas.
”Aaaaah, nggak bisa biasa, Dan. Udah dua tahun gue ga liat dia, gimana caranya gue biasa aja?” Naya lalu menarik Dani duduk di salah satu bangku di lapangan sekolahnya. Ia berusaha menikmati acara internal sekolah, yang memang diadakan setiap tahunnya untuk memeriahkan ulangtahun yayasan.
”Nay, Abbi, Nay!” seru Dani menunjuk serombongan cowok yang lewat tidak jauh dari tempat mereka duduk.
”Mampus gue!” seru Naya panik. Dengan bodohnya, Naya menarik Dani berjalan menyamping. Ia berharap Abbi tidak melihatnya kali ini. Setelah dirasanya aman, Naya menarik Dani berlari menjauhi lapangan olahraga sekolah.

---

Koridor belakang sekolah lantai 2, 2007. 

Sore ini langit sudah berubah menjadi jingga. Padahal, jam masih menunjukkan pukul lima sore. Abbi sudah berdiri memandang ke arah luar sekolah. Angin hari itu sejuk sekali. Naya berjalan ragu menghampiri Abbi. Abbi mengajaknya berbicara di koridor sore itu. Hanya berdua. Entah berapa kali diulangnya pesan itu. Semalam di telepon, pagi tadi saat baru datang di sekolah, bahkan sore tadi saat pulang sekolah, Abbi mengirim sms untuknya. ”Nay, nanti di koridor yaa.” begitu pesannya.
”Bi..” Sapa Naya pelan. Abbi tidak menoleh. Ia masih asyik memandangi sore itu.
”Kamu tau nggak? Kalo lagi disini sore-sore tuh aku ngerasa kaya lagi di Bandung. Langitnya biru tanpa gedung, anginnya enak, bunga yang disitu juga cantik. Makanya, tempat ini aku kasih nama Bandung” ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk bunga berwarna merah muda di halaman di bawah sana.
Naya masih diam. Ia bingung hendak membalas apa dari kata-kata Abbi tadi. Begitu juga dengan Abbi. Ia masih asyik dengan sore itu, dan ’Bandung-nya’.
”Jadi, Bi...” ujar Naya terbata.
”Nay...” Abbi menyela Naya. Ia memegang tangan Naya lembut. Namun tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya sesudah itu.
”Nay...” sekali lagi Abbi menyebut nama itu. Lalu sejurus kemudian keluarlah semua yang ia pendam selama ini. Tentang ia saat melihat Naya untuk kali pertama, tentang caranya berkenalan dengan Naya, tentangnya yang menyukai Naya, dan juga tentang dia yang sayang pada Naya.
”Jadi, Nay. Kamu mau nggak jadi cewek aku....” tanyanya pelan.
”Emm cewek apa dulu nih?” Naya balas bertanya. Sedikit menggodanya.
”Jadi cewek yang aku sayang.” jawab Abbi mantap. Dan anggukan Naya setelah pertanyaan itu mampu menjawab semuanya.
”4 Oktober 2007, I got my first love.” Ujar Naya dalam hati.

Koridor belakang sekolah lantai 2, 2012.

Naya, hanya terdiam memandangi semuanya. Dani yang menemaninya juga hanya bisa diam. Tak sedikitpun ia ingin mengusik Naya. Ia tau, kali ini yang Naya butuhkan hanya diam. Ia lalu duduk di balik tembok besar dekat koridor itu. Naya masih memandangi pemandangan indah sore itu. Ia membiarkan angina-angin menyapu wajahnya. Membiarkan rambutnya terbang, sambil memejamkan matanya. Ia hanya ingin mengingat tempat itu. Dan ia hanya ingin mengenang ceritanya. Tak lebih.
Namun kemudian, suara rebut segerombolan laki-laki mengusiknya. Naya membuka matanya, ia lalu menoleh ke ujung koridor itu. Gerombolan laki-laki itu ternyata Abbi dan teman-temannya. Sesaat mereka berhenti. Lalu semuanya seakan ikut berhenti. Untuk Naya, Abbi, dan untuk yang lainnya.
Naya bergeser dari tempatnya berdiri. Ia memandang ke arah Abbi dan kawan-kawannya. Abbi masih mematung disitu. Kawan-kawannya tampaknya mengerti. Mereka lalu meninggalkan Abbi sendiri.
Sejurus kemudian, Abbi menghampiri Naya.
”Nay, kamu sendirian?” tanyanya lembut. Masih sama seperti dulu ia menyapa Naya. Tangannya mengulurkan jabat.
”Emm, enggak kok. Tadi sama anak-anak juga.” jawab Naya terbata sambil membalas uluran tangan Abbi. Sekilas ia melirik tempat persembunyian Dani.
”Oooh.. Emm, kamu apa kabar, Nay?” tanyanya lagi.
”Baik, Bi. Kamu?”
”Baik juga kok. Hhaha.” jelas mereka berdua salah tingkah. Kemudian mereka terdiam tanpa pembicaraan.
”Emm, yaudah deh, Nay. Aku duluan yaa.”
”Oh iya.. Daah, Bi.” ujar Naya tersipu. Lalu kemudian Abbi pergi. Entah kapan Naya akan bertemu dengannya lagi.

---

Mobil Tita

”Nay, lo tadi ketemu Abbi?” tanya Tita penasaran.
“Lo tau darimana, Ta?” Naya balas bertanya heran.
“Ih bete deh. Kok lo ngga cerita sama gue?”
“Hahaha, sorry deh, Ta. Gue juga masih shock. Nggak nyangka gue.”
“Aaaah asyik bangeeeet. Gimana, Nay? Gimana, gimana?” tanyanya bersemangat.
“Yaaa nggak gimana-gimana, Ta. Gitu doang.” Jawab Naya pelan.
“Gitu doang gimana? Aiiih, bisa balikan dong nih? Hahaha. Gila, Nay. Empat tahun lo nungguin dia, ini kesempatan lo.” seru Tita.
”Emmm, kayaknya dia udah nggak suka lagi deh, Ta sama gue.”
”Hah? Yaaaah, kok gitu, Nay?” Naya hanya mengangkat bahunya. Lalu perjalanan kali itu pun berlangsung sepi.

---

Salah satu warung roti bakar di sudut Jakarta

Abbi sedang asyik merokok, sementara teman-temannya sibuk makan.
”Cieee ada yang galau.” goda Rafli sambil melempar tissue ke arah Abbi.
”Ah, sialan lo.” ujar Abbi kesal.
“Jadi lo gimana, men, sama Naya?” ujar Robby sambil merangkul pundak
“Ck!” ujar Abbi sambil menjauhkan tangan Robby.
”yeee, serius, Bi.” seru Rafli.
”Tau deh. Kayaknya dia udah nggak suka lagi sama gue.” jawab Abbi getir. Abbi lalu mengeluarkan handphonenya dari sakunya. Ia lalu membuka kuncinya dan memandangi wallpaper hapenya. Fotonya bersama Naya sewaktu SMA.

---

Cinta.
Sebuah rasa yang harusnya dapat diterima oleh semua insan. Bagaimanapun bentuknya, cinta harusnya mampu diterima oleh semua. Sebuah lagu mengalun, tepat di liriknya. "When you love someone, just be brave to say that you want him to be with you." Kita seharusnya bercerita tentang cinta. Tentang rasa yang selama ini ada. Karena, ketika kita memilih untuk diam dan menyimpannya, bisa jadi kita baru saja melewatkan satu kesempatan bersamanya. Ketika kita memilih untuk diam dan menyimpannya, ia takkan pernah tau rasa itu. Bisa jadi, ternyata ia punya rasa yang sama untuk kita. Maka, cobalah untuk satu kesempatan dalam hidupmu. Beri tau ia tentang rasa itu. Karena kamu tidak akan pernah tau, kalau ternyata bisa saja kalian bersatu.

Tamat.


P.S: Found this old story and i was like bhuahahahaha, ngakak men! Emang paling enak ya kalo bisa ngetawain masa lalu. Karena itu mungkin sama aja kita udah berdamai dengannya. :')
"Gonta-ganti parfum aja nggak suka, apalagi gonta-ganti cewek.."

Status path seorang temen yang bikin nyengir malam ini.
Bukaaan.. bukan gue kegeeran.
Tapi bikin sadar aja, ada orang yang cukup bersyukur dengan belajar di satu orang, ada yang tidak pernah puas belajar di orang lain.
Apapun itu, itu hak masing-masing orang. Memilih tempat belajar adalah pilihannya.
"TEMAN YANG BAIK, IA MELIHAT APA YANG BISA IA BERIKAN. YANG KURANG BAIK, HANYA MELIHAT APA YANG BISA IA DAPATKAN." - Zarry Hendrik

Dear, life is about sharing. It's not always about taking, sometimes it's about giving.

Tentang Kamu dan Wanitamu.

Melihat kamu dan wanitamu, membuatku sadar ini waktu untukku pergi.
Berbahagialah jika itu bahagiamu.
Doakan saja aku segera menyusul.

Suatu saat yang akan belajar bukan hanya aku, tapi juga kamu.
Dan mungkin dia.

My Problem

lovequotesrus:

Photo Courtesy: girlfrompurplecity

Males.

"Lama-lama orang males romantis karena entar disebut galau
Males peduli takut disebut kepo.
Males mendetail takut dibilang rempong.
Males mengubah-ubah point of view dalam debat takut dibilang labil
Juga, lama-lama generasi mendatang males berpendapat takut dikira curhat."


Ini didapet dari blog temen yang reblog dari blognya bang Ijonk yang dapet dari Sudjiwo Tejo. :)

Untuk Kelas Yang Membosankan

Berpuisi karna Ted Kawilarang

Ini hasil kebosan kita (Ayu, Chika, dan gue) di kelas Produksi Radio 2. Kita udah terlalu bosan ngederin dosen kita, pak Ted Kawilarang yang lagi ngoreksi hasil kerjaan berita radio kita masing-masing. Alhasil Ayu punya ide kreatif untuk buat puisi; caranya kita buat bareng dan masing-masing kita ngisi satu kata untuk nerusin sajak puisi itu secara bergantian.

TAAARAAAAAAAAAA!! jadilah hasilnya ini :D

Terima kasih untuk kelas-kelas yang membosankan. Berkat kalian kami bisa berbuat lebih, walaupun untuk diri kami sendiri.

Fak! Pas gue nemu ini lagi, anjir, rasanya...... Sumpah gue kangen dipancing gini. :')

Tentang Kamu

Sayang, segala yang ku tulis kamu bukan selalu berarti tentang kamu.
Ada kamu-kamu yang lain, yang mungkin bukan kamu.
Tapi aku terlalu cinta menulis dan menjadikan kamu sebagai objekku.

Senin, 20 Januari 2014

Penelepon Terakhir.

Musim hujan ini memang membuat sebagian orang repot. Termasuk aku, yang malam ini harus mengisi jadwal siaran rutinku dari jam sembilan sampai jam 12 malam di salah satu radio swasta di kota ku. Sepulang kuliah malam sekitar jam 8, aku langsung meluncur menembus hujan ke radio tempatku bekerja.
Hari ini hari Jumat, jadwal terakhir ku siaran di minggu ini. Seperti biasa, setiap hari Jumat di akhir sesi siaran ada segmen Tanya Naya, sebuah segmen tanya jawab dari listeners yang nantinya akan ku jawab.

"Delapan enam koma tujuh Lite FM we spread the light, we spread the love. Di jam-jam terakhir Naya nemenin kamu nih di hari Jumat ini, liteners. Tapi Naya masih ngasih satu kesempatan buat penelepon terakhir malam ini buat ikutan Tanya Naya kali ini. Silahkan siapa aja boleh nanya Naya apa aja. Halloo.."

Operator siaran kali itu memberi tanda belum ada telepon yang masuk.

"Oooh ternyata belum ada liteners yang mau nanya-nanya lagi nih sama Naya. Kita coba sekali lagi, hallo.."

Operator memberi tanda jempol yang artinya sudah ada penelepon yang masuk kali ini.

"Hallo..." sapaku sekali lagi.
"H..ha..haloo" balas suara di seberang sana terputus.
"Hallo?" ulangku.
"Hallo." jawabnya pelan. Aku masih kurang bisa mendengar suara itu dengan jelas.

"Iya, hallo.. Tanya Naya, ada yang mau ditanya sama Naya. Dengan siapa dimana?" tanyaku langsung sesuai prosedur.
"B..ba..." sayangnya suara itu terlalu kecil dan kurang jelas, bahkan masih kalah dengan suara backsound.
"Maaf sebentar, Mas Ari bisa minta tolong dikecilin backsoundnya, aku agak kurang jelas dengernya. Iya, Tanya Naya, ada yang mau ditanya sama Naya. Siapa iniii?" jawabku.

"Bani." jawabnya singkat dan padat. Deg. Aku hapal suara ini.
hhh.. aku menghela napas pelan.
"Kamu apa kabar?" tanyaku pelan. Lupa kalau ini masih on air.
"Baik.." jawabnya.

Saat itu kepalaku langsung pusing. Aku sangat hapal suara siapa ini. Hampir sekitar 6 tahun suara ini terlalu akrab di kepalaku. Aku butuh oksigen sebanyak-banyaknya saat itu juga.

"Hai, Bani! Bani mau nanya apa nih sama Naya?" Untung aku bisa menguasai keadaan.

"Emm.. Cuma mau nanya, apa sih hal yang paling kamu sesali di hidup ini?" tanyanya. Masih dengan suaranya yang pelan dan dalam.

"Hal yang paling Naya sesali di hidup ini tuuuuh... emmm.. menyia-nyiakan kesempatan." jawabku. Aku tau kemana arah pertanyaan ini.

"Oh.. Oke kalau gitu. Thank you."
"Sama-sama, Bani. Terima kasih juga.. Oh iya, Bani mau request lagu apa nih buat malam ini?"
"Sheila On 7, Yang Terlewatkan."
Deg.
"Oke nanti kita puterin yaa Sheila On 7 nyaa. Terima kasih udah ikutan Tanya Naya malam ini. Byee."

Deg. Entah sudah berapa kali rasanya jantung ini berhenti sepersekian detik. Suara ini. Suara yang kurang lebih 6 tahun kemarin sering berputar di kepalaku. Suara yang dulunya rajin bertanya aku sedang apa. Suara yang dulu dengan lembutnya menyebut, aku sayang kamu. Suara yang kemarin baru saja berhasil aku lupakan.
Entah kenapa ruang siaran kali itu rasanya menyempit dengan cepat dan menjepitku hingga aku sulit untuk bernafas. Aku bahkan lupa menutup segmen itu, kalau saja aku tak melihat Mas Ari memberi isyarat padaku untuk closing.

"Waw. Huft."
"Terima kasih buat Bani yang udah ikutan Tanya Naya kali ini. Habis ini Naya bakal muterin Sheila On 7 nya yang juga lagu terakhir buat malam ini. Terima kasih buat Liteners yang udah nemenin Naya dari jam 9 malam tadi. Jangan lupa buat dengerin Naya terus setiap hari mulai dari jam 9 sampai jam 12, cuma di Lite FM, We Spread The Light, We Spread The Love. Naya pamit. Bye." tutupku singkat. Aku menghela nafas seketika itu juga. Ku buka headphone ku dan berusaha berjalan keluar. Ketika ku buka pintu ruang siaran, dia berdiri persis di depanku. Berjaket biru, kesukaanku. Membawa sebuket bunga. Saat itu entah kaki ku ada dimana. Aku lupa.

Malam, hujan, pertanyaan tentang masa lalu, dan kamu di depanku.


Minggu, 19 Januari 2014

Separated

Perpisahan buat gue emang jadi salah satu hal yang gue benci dalam hidup ini. Tapi bagaimana pun gue benci sama yang namanya perpisahan, hal itu udah pasti bakal terjadi. Sudah mutlak. Ada beberapa hal yang memang sudah ditakdirkan untuk tidak berlama-lama sama kita.

Tapi puncak dari segala perpisahan adalah kematian. Dan kematian adalah hak prerogatif Tuhan. Yang bahkan sebelum kita tau apa arti kematian, sudah ditentukan oleh Tuhan sendiri.

Ada beberapa kematian yang pernah terjadi dalam hidup gue. Beberapa orang yang gue kenal juga harus menghadapi kehilangan orang-orang yang paling mereka sayangi.
Kehilangan terakhir yang gue alami adalah kehilangan temen deket gue sendiri, sekitar hampir 2 tahun yang lalu karena dia sakit DBD. Waktu itu gue ga melihat langsung jenazah temen gue itu, karena waktu itu gue lagi di luar kota. Waktu itu gue nangis. Gue sedih, karena he's such a gift to me. Dia tuh selalu siap sedia kalo disuruh ke rumah gue. Terakhir gue jalan sama dia, dia bahkan nraktir gue, terserah gue tinggal milih mau apa.

Di peringatan tujuh hariannya, gue dateng ke rumahnya. Gue ga peduli temen-temen gue yang lain waktu itu ga bisa dateng. Pokoknya gue harus dateng. Gue harus doain dia. Gue harus bayar keabsenan gue waktu pemakamannya.
Waktu gue masuk rumahnya, gue langsung disambut sama nyokapnya. Di sebelah nyokapnya ada pacarnya. Dan di barisan laki-laki gue liat bokapnya. Waktu gue ngobrol sama nyokapnya, nyokapnya mewakili temen gue minta maaf kalo ada salah, dan cerita kondisi dia terakhir.
Waktu itu gue ngeliat pacarnya. Gue ga kenal sih sama pacarnya. Kita bahkan baru kenalan dan ngobrol secara langsung disitu. Karena selama ini kita cuma tau sama tau aja. Terus gue merasa kasian sama dia. Gue gatau apa rasanya ditinggal pasangan.
Terakhir yang gue liat adalah bokapnya. Itu adalah momen dimana gue merasa takut gue akan meninggalkan atau ditinggalkan bokap gue. Gue ga tega membayangkan bokap gue akan seperti bokapnya temen gue, yang menatap nanar dan sedih karena kehilangan anaknya. Dan baru-baru ini, kabar terakhir yang gue dapat soal bokapnya adalah, bokapnya sampai sekarang masih terpukul, sampai kurus badannya. Temen gue ini harapan bokapnya banget. Dia anak laki-laki pertama dan satu-satunya di keluarga mereka. Temen gue ini juga udah dipersiapkan buat jadi dokter, nerusin bokapnya.
...

Sekitar pagi tadi sehabis sholat subuh, gue sempet ngecek timeline twitter. Tiba-tiba ada tweet dari temen gue yang bikin kaget. "Tetep tabah sayang @xxx. Semoga bapak tenang disisi-Nya". Innalillahi wa innailaihi rojiuun, bokap pacarnya temen gue ini baru aja meninggal karena sakit. Gue cuma kirim whatsapp ke temen gue, berharap pacarnya temen gue ini bisa ikhlas dan sabar.

Gue inget kemarin gue baru blogwalking ke blog temen gue. Ada satu postingan dia yang cerita soal dia yang baru aja ziarah ke makam ayahnya.



"Seiring berjalannya waktu, perjalanan ke makam tidak lagi mengundang keinginan untuk menangis. Rasa rindu kepada sosok Beliau lah yang muncul dan mendominasi saat tangan gue,adik, dan Mama menaburkan bunga ke pusara.
Setelah berpulangnya Ayah, pandangan gue mengenai pemakaman berubah drastis. Gue nggak menganggapnya sebagai tempat yang asing (walau gue tetap menolak keras jurit malam di kuburan, kurang kerjaan). Pandangan gue mengenai kematian juga mengalami pergeseran. Kematian yang kelihatannya tidak tampak itu ternyata melekat erat dalam setiap hela napas."

Entah apa yang ada di skenario Tuhan untuk semua perpisahan. Tapi setiap perpisahan pada akhirnya akan menyisakan beberapa hal. Dari perpisahan, kita sadar ada banyak hal yang membuat kita belajar. Pada akhirnya, tak ada lagi rasa marah, rasa kesal, rasa menyesal karena perpisahan. Pada akhirnya yang tertinggal dalam sebuah perpisahan hanyalah rindu. Tapi sayang, karena perpisahan pula, rindu itu hanya bisa dititipkan melalui Tuhan. Sampaikan yang baik-baik pada-Nya, begitulah sebaik-baiknya cara merindu.

Sepuluh Tahun Aku Membenci Suamiku



KISAH di bawah ini beredar di berbagai forum, fanpage facebook, dan blog. Entah siapa yang menuliskannya, namun satu hal yang pasti, kita bisa memetik pelajaran sangat banyak darinya. Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senan g dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya .

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.

Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.

Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.

Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.

Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikanny a, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah
karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.

Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya , tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikanny a atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.




Sumber : http://www.islampos.com/sepuluh-tahun-aku-membenci-suamiku-46829/

Sabtu, 18 Januari 2014

Rindu 60 hari..

Rindu itu tertahan selama 60 hari.
60 hari yang berat yang membuatku perlu menguatkan diriku sendiri.
Sabar..
Sebentar lagi pulang..
Rindu 60 hari itu akhirnya terbayar dalam satu hari.
Ya, hanya satu hari.
Sebab setelah hari itu, aku harus pergi, karena kau tak ada lagi.
Tak apalah, setidaknya rindu 60 hari itu terbayar.
Aku jadi lebih menghargai waktu, dan arti dari kata sabar.

Mungkin Ini Masalah Kita Juga..

"Cinta Itu Buta. Tapi Cinta Bisa Bedain Mana BMW dan Mana BMX" - salah satu akun di twitter.

Hampir tengah malam ketika sebuah pesan singkat masuk ke hape gue..
"Ay, mau curhat."
"Oke.. Move to whatsapp yaa."
Akhirnya curhatan itu pun pindah ke whatsapp.

Yang mau curhat ini temen gue,seorang cowok, seumur sama gue, tapi dia udah kerja. Dia curhat dia lagi bete sama pacarnya, dan betenya kali ini to the max banget. Ceweknya temen gue ini umurnya lebih tua satu tahun sama kami, dan udah kerja juga..

Jadi gini, katanya, ceweknya ini kebetulan anak dari seorang pejabat kepolisian. Jadi kita mungkin akan sangat mengerti bagaimana gaya hidupnya, tanpa perlu dijelasin lagi lebih lanjut sama temen gue ini. Nah, temen gue ini nggak suka sama gaya hidupnya yang kemana-mana naik mobil, kalo dianter naik motor nggak mau, ribet katanya bawaannya banyak. Sesimple itulah penjelasan awalnya. Nah, terus temen gue nggak tau nih sekarang status dia gimana sama pacarnya ini. Mereka udah sebulan nggak ketemu, hubungannya cuma sebatas sms doang, karena memang masing-masing juga lagi sibuk. Tapi buat dia yang paling berat emang soal gayanya pacarnya, yang menurut dia nggak sombong sih, tapi apa ya, pokoknya nggak bisa dibilangin jangan terlalu hidup enak, gitu lah. Dia berharap, ceweknya ini bisa lebih peka sama lingkungan seenggaknya. Dia bilang juga, kalo mau serius sama dia, jangan harap bisa hidup enak, harus mulai dari 0.
Mereka udah lumayan sering putus-nyambung selama sekitar 2 atau 3 tahun pacaran seinget gue. Nah, setiap temen gue mau mundur pelan-pelan, si ceweknya ini selalu bilang kangen. Temen gue ini jadi bingung. Tapi dia ragu kalo gayanya kayak gini terus. Sayangnya, si ceweknya ini setiap dibilangin pasti selalu balikin omongan itu. Katanya, ceweknya selalu bilang, "ya aku masih nyaman naik mobil" atau "yaa, kan kalo naik bis nunggunya lama".
Temen gue ini sebenernya gapapa mau naik mobil atau apa. Tapi dia cuma mau ngajarin ceweknya ini, kalo masih banyak orang yang nggak seberuntung dia, cobalah sesekali naik angkutan. Gituuu. Temen gue sih mikirnya, kalo dia sampe jadi sama cewek ini, dan dia masih cuma punya motor terus gayanya masih juga kayak gitu, nantinya gimana. Terus dia bingung.

Mulai lah gue menanggapi.
Gue bilang sama temen gue ini, kalo gue sebenernya bingung mau nanggapin kayak gimana. karena gue juga sempet di protes halus sama pacar gue. Yaaa kira-kira sama lah masalahnya. Pacar gue ini takut kalo gue nanti akan selalu disuapin sama orangtua gue.
Gue bilang lagi sama temen gue, gue sebenernya risih dibilang kayak gitu, seakan-akan gue manja banget. Tapi gue ga bisa apa-apa lagi karena emang keadaannya begitu. Gue jadian sama pacar gue ini ketika posisi gue lagi enak. Dan sayangnya, enaknya gue itu emang enak dari lungsuran orangtua gue. Ngerti lah pokoknya gue kenapa pacar gue sampe ngomong kayak gitu. Dia pasti ngeliat dan mikirin apa yang dia liat doang, dan memang yang selama ini dia liat tuh hidup gue nyaman banget. Pacar gue jelas beda sama temen gue yang ngerti dan tau gue dulu gimana. Gitu..
Tapi, ya gue bilang, temen gue ini ga bisa nyamain gue sama ceweknya. Gue mungkin saat ini hidup enak, tapi ya gue cuma sekedar bagian dari kelas menengah ngehek, sementara pacarnya itu emang anak pejabat, yang gue yakin emang hidupnya dari dulu enak. Ya nggak pernah susah sekali lah minimal. Susah kalo ngarepin dia mau hidup nggak enak.
Nah itu dia, kata temen gue. Mau ditaro dimana muka laki-laki. Menurut dia, kalo udah nikah nanti, cewek-cewek pasti maunya bergantung hidup sama lakinya. Terus kalo nggak bisa, mau ditaro dimana muka lakinya. Dia nggak suka gayanya ceweknya yang bilang ga borjuis tapi secara ga langsung nunjukkin sikapnya yang kayak gitu.

Err... Gue bingung harus nanggapin dia gimana. Karena menurut gue, mungkin aja waktu itu pacar gue punya pikiran kayak gini. Dan gue takutnya emang gue kayak cewek ini (ya semoga aja engga yaa.. atau kalaupun ternyata kayak gitu, semoga gue bisa belajar untuk berubah. aamiin). Yang jelas menurut gue perbedaan gue sama cewek ini adalah si cewek ini pasti nggak pernah hidup susah. Minimal dia waktu kecil nggak pernah disuruh bantuin bapaknya dempul lemari di tengah bolong dulu kalo mau minta uang jajan. :(

Temen gue ini pengennya ngasih unjuk ke ceweknya kalo masih banyak orang yang nggak seberuntung mereka, dan ada kemungkinan mereka mulai dari itu juga, kayak orang lain. Tapi si ceweknya ini cuma iya-iya aja, nggak pernah berubah. Alasannya masih nyaman lah atau apalah, pokoknya semua kata-katanya temen gue ini selalu dibalikin. Saking keselnya, temen gue ini sampe mau bilang sama pacarnya, kalo dia bisa hidup enak tuh justru dari pajak orang lain yang hidupnya susah. Dari orang-orang ini dia bisa punya mobil, makan enak, fasilitas negara lengkap lah. Tapi temen gue ga enak mau ngomong gitu. Gue bilang jangan ngomong gitu lah. Itu mah sama aja nyinggung bokapnya kalo bawa-bawa fasilitas yang dikasih negara.
Temen gue bilang, kalo dibilang sayang sih sayang. Tapi pas gue tanya banyakan betenya atau sayangnya, dia bilang banyakan betenya.

Selain dari masalah mereka berdua, ternyata orangtuanya temen gue ini punya masalah yang agak sama, sama orangtuanya ceweknya. Kebetulan mereka gabung di satu gereja. Dan temen gue ini juga ga suka sama gaya orangtuanya. Jadi dia menarik kesimpulan kalo ini semua tuh emang berakar dari uang. Gitu menurut dia.

begitu curhatan dia.

Terus temen gue ini langsung gue tembak. Sumpah, gue ga pengen menyarankan dia untuk putus sama pacarnya. Jangan ngoleksi mantan lah. Gue rasa sebenernya semua masalah bisa diatasi dan diselesaiin kalo mereka berdua saling ngomong dan saling mengerti satu sama lain. Tapi dia bilang, kalo kayak gini terus dia ga kuat. Dia selalu nahan kalo mau ngritik ceweknya, padahal itu udah di ujung lidah banget. Dia malah ngga bisa apa-apa. Sementara kalo dia mau ngejalaninnya juga malah jadi bermuka dua. Di satu sisi dia senyum, tapi di sisi lain dia nggak suka sama gaya ceweknya dan keluarganya yang kasarnya 'nggak tau terima kasih sama rakyat'.

Karena dia butuh saran yaudah gue saranin sekenanya (tapi ga asal yaa). Menurut gue, urusan uang ini, si temen gue emang harus nembak ceweknya. Temen gue ini harus bilang, "kamu jangan anggap aku ini kaya. Yang kaya itu papa aku. Dan sebagai anak cowok, aku ngga bisa terus hidup dari papa aku. Aku cuma punya segini. Kamu harus bisa nerima aku. Kalo aku ngikutin kamu terus, aku ngga akan bisa nabung. Darimana aku bisa ngehidupin kamu nanti. Kamu sekarang tinggal pilih, mau bantuin aku atau engga. Toh yang aku lakuin buat kamu juga. Kalo kamu mau, tolong kamu berubah. Kalo engga ya silahkan, kamu boleh cari yang lebih baik."
Aduh gue jahat banget ya, tapi waktu itu gue merasa temen gue ini harus tegas. Temen gue bilang kalo dulu dia pernah ngomong gitu, tapi ga sampe setegas harus milih. Terus gue bilang, cobalah kasih dia kesempatan dulu. Karena menurut gue ya, mungkin aja... mungkiiiin kalo temen gue ini ga bisa tegas ya pacarnya juga ga bisa ngerti. Dan kalo misalnya nanti pacarnya udah rela berkorban untuk berubah demi temen gue ini, masa iya sih temen gue ini ga tergerak hatinya buat berubah juga. Dua-duanya harus sama-sama berkorban.

Tapi si temen gue ini keukeuh. Dia udah bener-bener nggak suka. Dia lebih milih ceweknya ini dapat orang yang lebih baik. Gue juga keukeuh ga menyarankan dia buat putus. Tapi temen gue bilang dia ga bisa pura-pura. Gue bilang gue ngerti keadaan dia gimana. Lalu gue menyarankan jalan tengah. Jadi gue menyarankan gimana kalo temen gue ini bikin deadline. Pertama dia harus ngomong sama pacarnya itu. Harus jujur soal semuanya. Tapi jangan minta putus dulu. Katakanlah deadline ini sekitar 2 sampe 3 bulan. Nah, entah gimana caranya, temen gue ini harus berusaha dengan sangat buat sayang lagi sama pacarnya, walaupun kasarnya cuma akting. Tapi buat gue, temen gue ini emang harus ngilangin semua egonya, hilangin semua kepentingan dia, pikirin dulu perasaan pacarnya. Temen gue ini harus inget waktu awal-awal pacaran dulu. Buat gue ini harus dicoba. Siapa tau berubah.

Nah, temen gue bilang, selama ini mereka ketemu, dia udah nyoba ilangin egonya seilang-ilangnya, termasuk ketika ketemu bokapnya. Tapi jadinya malah beradu antara egonya sama ketidaksukaannya. Itu yang susah. Jadinya malah kesel sendiri.

Terus gue bilang deh, gue gatau lagi. Kapasitas gue cuma nyampe situ. Tapi menurut gue, di tenggat deadline itu semuanya bakal keliatan. Orang pacaran itu, kalo ngomongin masalah serius pasti suka langsung ngedrop. Nah disitu deh baru keliatan dia serius nggak sama lo. Kalo udah males, dia bakalan pergi dengan sendirinya. Tapi kalo dia serius, dia pasti bakalan berubah. Dan bodoh aja menurut gue kalo lo ngga berubah juga.

Gue bilang sama temen gue. Mungkin gue juga bermasalah kayak gini. Tapi satu yang selalu gue sesali adalah gue ga pernah punya kesempatan buat dengerin apa sebenerya maunya pacar gue dan apa masalahnya selama ini. Buat gue kalo udah berdua, semua masalah harus di share. Dan sebagai cowok, terutama udah umur segini, udah harus bisa jadi decision maker. Ngga bisa ya, terserah, dan jawaban diplomatis lain. Sebagai cowok juga ga bisa ikutin ceweknya terus. Gue yakin, mostly, cewek juga akan manut-manut aja, kalo emang niat serius sama pacarnya.  Tapi masalahnya sebagian orang nggak pernah ngomong masalah sebenernya. Lo pikir orang lain mau tau dari mana, kalo lo ngga pernah ngomong? Wangsit?

Begitulah kurang lebih curhatannya dan tanggapan gue. Gue juga bingung sih. Karena masalah ini di luar kapasitas gue. Gue cuma merasa, mungkin aja gue sempet punya masalah yang sama. Gue cuma berharap, ceweknya temen gue ini punya kesempatan buat tau masalah sebenernya. Siapa tau bisa berubah. Dan kalo misalnya udah berubah nih yaa, terus ternyata begitu lagi, baru deh mesti diselesaiin. Tapi seenggaknya ceweknya tau, masalahnya apa. Jangan sampe dia gatau apa-apa terus tau-tau putus gitu aja.

Ngomong-ngomong masalah hidup keenakan ini, suatu waktu gue pernah takut, dan ketakutan itu sempet gue tulis juga disini. Tapi gue sadar gue sama sekali ga bisa nyalahin siapapun disini. Memang sekarang ya begitu keadaannya. Selama sekitar dua semester terakhir gue kuliah kemarin ya gue bawa mobil, terutama kalo ada Chika atau Shisi. Emang itu lebih enak dan efisien. Jadi gue seringkali rela gue ga jajan di kampus dan bawa bekel daripada gue naik bis dan angkot. Apalagi setelah jatah patas dikurangin, dan gue sering pulang malem banget karena tugas atau nonton musik. Tapi waktu itu gue emang lagi megang duit lebih sih, jadi gue sering jajan dan kemana-mana naik mobil. Dan memang lingkungan gue pada saat itu sangat mendukung gue untuk hidup seperti itu. Bahkan dengan hidup gue yang begitu aja, yang udah wah buat gue, itu masih kurang dibandingin beberapa temen gue. Gue selalu berharap gue bisa untuk selalu nunduk dan merendah. Sampe suatu waktu gue pernah minta tolong sama temen gue, minta tolong banget, tolong ingetin gue kalo gue udah terlalu tinggi.
Semenjak gue keluar dari rumah, gue mulai sadar nih kalo gue ga boleh terlalu royal lagi. Seenggaknya dikurangin lah. Jangan samain hidup di kota besar sama di kota kecil. Gue harus bisa ngesave duit lebih banyak daripada sebelumnya, walaupun jatah uang gue dikurangin dari jatah gue hidup di rumah. Semenjak gue berniat serius sama partner gue waktu itu, gue belajar buat nabung. Di rumah gue punya celengan ayam, yang emang ga seberapa sih, tapi seenggaknya gue isi terus. Dan gue dulu emang ngepost-in uang buat beberapa hal termasuk pacaran. Baru deh semenjak gue di Solo, gue belajar buat ngepost-in duit lagi. Tapi gue bingung kok gue ga bisa nabung disana. Ya nabung sih, tapi kok segitu-segitu ajaa.
Untuk nyiapin liburan ini aja gue sempet kepikiran masalah uang. Ya gue udah ngebayangin gue akan kesana-kesini, ketemu si itu dan si ini pasti akan keluar uang. Akhirnya sekarang selama liburan ini, gue jarang jalan kemana-mana, karena gue pengen nahan uang gue dulu. Siapa tau bisa buat beli rice cooker demi hidup lebih hemat di kosan nanti.  Alhamdulillahnya selama gue keluar ini, gue selalu ditraktir temen gue.
Gue tanya sama temen gue disana. Ternyata temen gue juga punya masalah yang sama. Uang disana cuma sekedar lewat. Terus kita mikir, semester besok kita harus berubah. Kita harus jauh lebih hemat dari sekarang. Apalagi karena kita belum dapat pekerjaan yaa. Kita harus bisa ngerti lah. Mungkin emang sekarang kita gabisa kayak temen-temen lain yang udah dikasih kesempatan buat nyari duit sendiri. Tapi gue yakin kita ga sebodoh itu buat ngehabis-habisin duit yang ada. Kalo masalah duitnya ada atau engga, gue yakin duitnya mah ada. Ibaratnya kemarin ada pilihan kost-kostan 600rb- 1,5jt yang enak-enak dan kita punya kesempatan buat ngekost disitu, tapi kita tetep lebih milih kost-an yang perbulan sekitar 350rb.

Ya dari curhatan temen gue dan dari tweet di atas gue ngerti sih. Memang cewek mengharapkan kemapanan, dan cowok mengharapkan kesederhanaan. Ya mungkin emang udah begitu keadaannya yaa. Tapi apa segitunya ya kondisinya, kami, gue dan beberapa cewek lain, sebegitu manjanya sampai diragukan begitu? Apa salah, kalo misalnya yaa ada perempuan yang mengharapkan hidup enak? Gue suka bingung aja, apa salahnya mengerti satu sama lain. Cowok mengerti cewek, dan cewek ngertiin cowok. Ya kalo misalnya pacar gue sampe mikir kayak gitu juga mungkin gue juga sempet salah sih. Mungkin gue juga ga bisa ngertiin pacar gue. Mungkin aja gue juga sama aja sama ceweknya temen gue itu. Mungkin masing-masing orang punya garis rezeki yang berbeda-beda. Mungkin gue yang sekarang masih terus disuapin sama orangtua gue, dan ada beberapa hal yang dikasih lebih sama orangtua gue. Tapi gue yakin orangtua gue tau sebatas apa tugas mereka. Orangtua gue pernah bilang, anak perempuan kalo udah dinikahin sama laki-laki ya harus ikut laki-laki itu. Tapi orangtua gue juga ngelarang gue buat menikah sebelum gue kerja which is menurut gue mereka jelas berharap gue punya pendapatan di luar pendapatan suami gue nantinya.Ya tapi itu tadi, apapun itu, kalo memang seandainya gue agak lupa diri, gue berharap gue masih bisa diingetin sama manusia, jangan sampe sama Tuhan.

Jumat, 17 Januari 2014

Kita

Aku mencoba berjalan
Jauh hingga tempat yang tak ku kenal
Aku terus berjalan dalam keletihan
Hingga telapak ini membentuk luka yang menganga

Lurus, itu yang ku tuju
Apa daya, sumbu itu yang ku temu
Aku tak ingin kamu
Hanya ingin sesuatu yang baru

Seperti gasing yang diputar
Sekalipun ia berhenti,
Titik itu akan selalu tetap ada padamu 




Puisi ini sebenernya iseng-iseng gue buat disaat gue lagi bete
Puisi ini bercerita tentang dunia yang terlalu sempit buat bercerita.
Jadi kalo misalnya lo pernah denger satu teori yang bilang, 'coba deh lo kait-kaitin orang-orang. Di orang kelima lo akan sadar, kalo lo berlima sebenernya punya hubungan yang seling terkait'.
Contohnya yaa, gue ngobrol ama si A, dan ternyata si A juga kenal sama temen lo yang namanya B. Lalu ketika lo ngobrol sama si B, lo berdua ternyata kenal juga sama si C. Disini ada kemungkinan, si C akan kenal atau malah udah kenal sama si A.
Pokoknya seinget gue, di teori ini, dibilang hubungan antar manusia itu, antara paling jauh atau paling deket, cuma sampe 5orang.
Nah, maksud dari puisi ini, misalnya gue mau cerita tentang seseorang (si A), tapi takut buat cerita sama orang lain, soalnya sadar orang lain itu juga kenal sama si A, dan ada kemungkinan dia bakal ember. Atau engga, misalnya gue mau cerita tentang aib gue sendiri, ke si A, tapi takut kalo si A bakal ember ke si B yang juga kenal sama gue, terus aib gue nyebar kemana-mana.
Nah, gue jadi kesel. Kenapa dunia ini begitu sempit? Gue butuh orang asing buat gue ceritain semua hal. Tapi sayang, orang asing itu nggak pernah ada.

Kamis, 16 Januari 2014

"Cinta Itu Datang Bersamaan Dengan Penepatan Janji"




sumber foto : Google

Tentang Hobi Gue

Kalau ditanya hobi gue apa, jawaban standar gue adalah travelling dan membaca. Itu aja. Gue gatau apa nyanyi di kamar mandi, nonton tv, main hp itu termasuk hobi atau engga. Kalau iya, mungkin suatu saat bakal gue masukin.

Tapi selain dua hal tadi, gue juga punya satu hobi lain.
Hobi gue adalah menyimpan kenangan.
Like.. seriously.
Yang paling pertama jelas foto yaa. Gambar itu bicara lebih.
Sebagian orang cuma foto terus kemudian selesai begitu aja. Gue engga. Foto yang buat gue menarik, dan punya banyak kenangan bakalan gue print dan gue pajang, atau minimal gue simpan. Setiap ngeliat foto-foto itu, gue senyum senyum.
Selain foto, gue juga suka nulis-nulis. Nulis apapun. Kalo ada kata-kata menarik gue tulis, dan gue simpan. Dulu, sebelum ada twitter, gue punya notebook gitu, dan gue tulis apapun yang menurut gue menarik di situ.
Barusan, gue berusaha mencari bb gue yang ilang, karena ada beberapa file yang gue simpan di bb gue itu dan gue butuhin sekarang. Nah, pas nyari-nyari bb itu, otomatis gue harus bongkar lagi semua tempat yang ada di rumah gue.
Dari selama liburan ini, baru kali ini gue masuk ke kamar gue. Setelah gue tidur di kamar adik gue. Pas gue masuk, mata gue langsung tertuju ke bingkai foto, isinya foto gue sama seorang cowok, kita sama-sama pake baju abu-abu, tapi bajunya lebih gelap daripada baju gue dan tulisan di bajunya 'I Wanna Grow Old With Her'. Kebetulan aja sih. Tapi waktu itu cukup bikin gue degdegser, walaupun sok cool gitu. Gue bingung foto ini mau gue apain. Jadi gue diemin aja di tempatnya.
Terus gue buka peti harta karun gue. Disitu ada note gue sama diary gue jaman SMP. Gue buka lagi tulisan itu. Ini gue udah ngga bisa senyum senyum lagi. Langsung ngakak gue!
Gue share sebagiannya disini yaa..

jadwal pelajaran waktu kelas 1 SMK

sepotong pelajaran fisika


day to day with first crush :p
iya gue alay. ini sekitar tahun 2005 -__-"

 kalo temen-temen SMP gue liat ini pasti langsung muntah berjamaah :D


jangan ketawain tulisan ini, ini tulisan sekitar tahun 2007 akhir atau 2008 awal.
beberapa waktu yang lalu, sempet ada yang penasaran sama isi buku ini, nih aku kasih liat deh sekarang. :))


Selain tulisan, gue juga suka ngumpulin tiket, bon, atau apapun itu.. Nggak ngerti deh kenapa gue suka ngumpulin kayak gini. Tapi gue suka aja, soalnya semua yang gue kumpulin itu pasti punya cerita berharga gitu buat gue. :)