Jumat, 24 Januari 2014

Reuni

Sore itu langit masih berwarna kuning cerah. Tampaknya, matahari belum juga mau beranjak dari tempatnya. Naya baru saja selesai mandi. Ia masih sibuk mengeringkan rambutnya, saat pintu rumahnya diketuk seseorang.
Tokk..tokk..tokk 
“Sebentaaar..” katanya sambil berjalan kea rah pintu depan. 
Dibukanya pintu rumahnya. Sejenak ia terkaget.
“Andy!!”
“Hai, Nay! Hha.. Kaget gitu.” sapa Andy ramah.
”Hahaha. Iya lah, kaget gue. Apa kabar, Ndy? Masuk yuk!”
”Kabar gue baik kook.” Jawab Andy sambil duduk di kursi ruang tamu sederhana itu.
“Ah, gila. Tumben banget nih lo ke rumah gue. Ada apa deh?” tanya Naya semangat.
”Engga kok. Gue Cuma mau ngasih ini.” katanya sambil menyerahkan secarik kertas.
”Apa nih?” tanya Naya bingung sambil memperhatikan isi kertas itu.
”Ooooh.. Undangan reunian. Gue pikiiiir, elo mau duluan. Hhaha.” godanya.
”Alah, calonnya aja belum ada. Lo kali duluan.”
”yaaah, gue lagi, Ndy. Belum mikir kesitu tuh. Mau nyelesein kuliah dulu.” katanya sambil memainkan kertas undangannnya.
”Bagus lah kalo gitu. Cepetan lo selesaiin. Kasian nyokap lo, pengen nunggu anaknya make toga.”
”Aaaah, lo jangan ngomong gitu doong. Mentang-mentang udah selesai.”
”Hahaha. Biasa aja ah. Eh, Nay, gue balik dulu yaa. Gue mau nganterin ke anak-anak lain nih.” pamitnya.
”Lo rajin banget deh, Ndy, nganter-nganterin. Sekarang kan udah ada facebook.”
”Nggak apa-apa laah, sekalian gue ngecek anak-anak. Tapi di grup juga ada.”
“Hhaha, nggak salah deh lo jadi kordinator alumni.”
”Haha, gitu deeeh. Yaudah gue balik dulu yaa.” kata Andy sambil beranjak dari duduknya.
”Emm, oke deh. Gue anter sampe pager aja yaa.”
“Yaelaaaaah..” Lalu Naya pun mengantar Andy sampai motornya.
“Bye, Nay!” pamit Andy.
“Bye, Ndy. Hati-hati yaa.” Balas Naya sambil melambaikan tangannya.

---

Ditimangnya undangan yang baru ia dapat dari Andy. Undangan sederhana, yang mampu memebawanya ke memorinya yang lama. Naya beranjak ke kamarnya. Dari laci di sudut kamar, ia keluarkan sebuah album foto. ”Abu-abu”, begitu judul album itu.
Dibukanya perlahan. Sejenak ingatannya kembali ke masa SMA. Senyumnya tersimpul manakala ia membuka lembar demi lembar halaman album itu. Tangannya berhenti pada satu foto, ia dan seorang lelaki. Di rabanya foto itu pelan. Senyumnya getir kali ini.

---

Kantin sekolah, 2007
”Nay, kalo gue perhatiin, akhir-akhir ini lo sering banget ngeliatin Abbi deh. Naksir lo yaa sama dia??” goda Tita, teman Naya saat jam istirahat siang itu.
”Apaan sih, Ta? Gue emang ngeliatin orang-orang aja.” kilah Naya.
”Yaelah, Nay. Gue juga merhatiin kali lo belakangan ini, kalo ada Abbi jadi aneh gitu. Salting!”
”Apaaaaa sih Taaaa? Lo emang paling rese deh.”
”Cieeeee... Nayaaaaa!!”
”Titaaaaaa!! Rese banget!” kata Naya sambil berusaha menutup mulut Tita.

---

Kriiing.. kriiing... Suara dering telepon rumah membuyarkan lamunan Naya. Ia bingung, hari hampir maghrib, siapa yang menelpon. Ia lalu beranjak mengangkat telepon itu.
”Halo..” sapanya
”Nay!” suara di sebrang sudah akrab dengan suara Naya.
”Tita!! Pas banget! Gue baru mau sms lo.” Jawab Naya nggak kalah semangat.
“Nay, lo udah dapet undangan belum?”
”Udah tadi dianter Andy. Lo udah juga?”
“Udaaaaah. Mau dateng nggak, Nay? Dateng yuuuk!!” ajak Tita memelas.
“Iya dateng. Kangen anak-anak. Tapi yang lain dateng nggak, Ta?”
”Tadi gue liat di facebook sih pada dateng. Udah yuuuuk, dateng. Lo free kan tanggal 28 itu?”
“Kayaknya sih free, Ta. Hari Sabtu kan itu?”
”He’eemh. Cuss yuk, Nay. Dua minggu lagi, Nay. Santai aja.”
”Hahaha, oke-okee. Yaudah, nanti bareng ya, Ta.”
”Oke deh. Bye, Nay, maghrib nih.”
”Iya. Bye, Taa.” 

---

Adzan maghrib itu, menemani kesendirian Naya di rumah. Entah kenapa, selembar undangan yang datang sore itu seketika mampu merubah suasana hatinya. Naya berjalan ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Diresapi tetes air yang membasahi wajahnya kali itu. Setelah selesai mengambil air wudhu, Naya pun sholat sendiri maghrib itu. Kedua salam mengakhiri sholat Naya kali itu.
Masih dalam balutan mukenanya, ia termenung. Ingatannya kemabali ke masa lama. Sms dari Abbi yang senantiasa mengingatkannya untuk sholat kembali menguap dari otaknya. Biasanya sms itu hanya terdiri dari beberapa kata, ”jangan lupa sholatnya ya, Nay.” dan terkadang ada beberapa kata tambahan setelah atau sebelumnya. ”Udah makan belum?” atau ”Lagi ngapain, Nay?” Kata-kata yang mampu membuatnya senyum-senyum sendiri memandangi layar handphonenya. Malam itu, Naya berulang kali membuka halaman demi halaman album foto ”Abu-Abu”-nya. Hari itu, dia tau, hanya dengan cara seperti itu, ia bisa memenuhi rasa rindu.

---

Sabtu, 28 Maret 2012

Kriiiing.. kriiing..
“Nayaaaa. Angkat teleponnya.” Seru ibu Naya.
“Iya, buuu. Sebentaaar.” Jawabnya.
Ia bergegas mengangkat telepon yang terus berdering itu.
“Haloo..”
“Haloo, Naya?”
“Iyalah, Ta. Pake nanya lagi lo.” Jawab Naya asal.
“Eh, udah siap belum lo?”
“Bentar lagi nih, Ta. Emang lo udah siap?”
”Udaaah. Kalo lo udah siap gue langsung cuss nih jemput lo.” Naya terdiam. Ia bahkan tak yakin ia siap untuk hari ini.
”Halo? Nay? Woy?” panggil Tita berkali-kali.
”Eh, iya Ta?”
”Kok diem sih lo?” tanya Tita bingung.
”Gue belum siap nih, Ta. Masih lama kayaknya.”
”Yaaaaaah, lo gimana siiih?”
”Aduuuh, sorry deh, Ta. Lo mau duluan atau mau tetep nungguin gue?”
”Yaudah gue tungguin deh. Buruan ya, Naaay.” Seru Tita.
“Oke deh, Ta. Gue siap-siap nih.”
”Yaudah, Bye.”
”Bye..”

---

Naya kembali ke kamarnya. Dibukanya pintu lemarinya. Dipilihnya baju-baju yang ada disana. Satu dicobanya, nggak cocok. Begitu juga yang kedua. Entah mengapa, rasanya ia ingin berdandan manis hari ini. Ia ingin tampil berbeda hari itu. Diambilnya simple dress dari lemarinya. Ia coba mengenakannya. Ingatannya kembali lagi. Kali itu, ia sedang menunggu bis di depan gerbang sekolahnya. Abbi setia menemaninya siang itu. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Seorang perempuan muda keluar dari mobil itu. Penampilannya sederhana, hanya dengan simple dress dan sepatu flat. Ia bertanya arah jalan pada mereka berdua. Setelah perempuan itu pergi, Abbi berkata pada Naya,
”Aku paling suka deh kalo perempuan pake dress gitu. Simple. Enak banget ngeliatnya.”
”Ohhh, jadi kamu nggak suka ngeliat aku?” tanya Naya bete.
”Enggaaaaak. Bukan gituuu. Cuma lebih suka aja. Coba kamu kaya gitu.”
”Nggak mau, ah. Ribet.” jawabnya ketus.
”Cieee, sensitif deh.” goda Abbi jail.

---

Sekali lagi Naya mencatut dirinya di depan kaca. Sekali lagi ia ragu. Apa ia pantas mengenakan semua itu. Ini bukan Naya yang seperti biasa. Bisa saja teman-temannya menertawainya. Lagipula, kalaupun kali ini ia cantik untuk Abbi, belum tentu juga ia datang untuk reuni hari ini.
Ia ragu. Kemudian ia ganti bajunya. Kali ini ia lebih memilih mengenakan celana jeans kesayangannya. Ia kemudian memilih satu blouse cantik berwarna pastel. Sekali lagi ia melihat cermin di depannya. Manis. Ia kemudian menguncir rambutnya. Lalu menyapukan bedak di wajahnya. Tak lupa ia tambahkan blush on merah muda agar merona. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan. Terakhir dioleskannya lipstick di bibirnya. Dandanan yang sangat simpel, namun untuk perempuan cuek seperti Naya, penampilan kali itu bisa jadi spesial. Ia memantapkan dirinya, tahun ini Abbi pasti nggak datang, sama seperti tahun kemarin.

---

Lepas dzuhur, Naya dan Tita tiba di SMA mereka, tempat dimana reuni tahunan biasa diadakan. Naya memegang tangannya sendiri yang lebih dingin dari biasanya. Perasaannya kali ini bercampur aduk menjadi satu. Senang, takut, dan lain sebagainya. Bagaimanapun, di tempat inilah ia memulai rangkaian ceritanya. Cerita yang mungkin takkan pernah ia lupa. Bagaimana tempat ini mempertemukannya dengan cintanya. Bagaimana tempat ini memberinya hari-hari yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan bagaimana juga, tempat itu sendiri yang menguapkan semua ceritanya.
---

Gerbang sekolah, 2007.
”Eeeeh, ini ya. Masih pagi udah berduaan aja.” tegur Pak Umang, satpam sekolah yang paling disayang anak-anak.
”Yaaaah, bapak. Kan biar semangat, Pak.” jawab Abbi sekenanya.

Gerbang sekolah, 2012.

”Siang, Pak Umang!” sapa Tita dengan ceria. Memang kali ini Tita tampak sangat bersemangat. Berbeda dengan Naya yang terlihat sedikit gelisah.
”Eeeeeh, Neng Tita. Gimana nih kabarnya? Baik?” balas Pak Umang dengan ramahnya.
”Baik dong, Paaak. Oh iya, Pak, masih inget sama temen saya yang ini, nggak?” serunya sambil menunjuk Naya yang duduk di bangku penumpang.
”Iiiiih, Neng Naya! Inget atuh, kan dulu waktu sama si aden suka bapak godain.” jawab Pak Umang, sekali lagi membuka memori Naya.
”Ah, bapak bisa aja.” ujar Naya berusaha tenang.
”Cuma berdua aja?” tanya Pak Umang.
”Iya, Pak. Makanya, kita mau masuk nih, Pak. Mau nyari yang lain.” jawab Tita.
“Ooh iya, sok mangga atuh.”
”Makasih, Paak.” jawab mereka berdua kompak.

---

Parkiran sekolah, 2007.
”Nanti kamu pulangnya bareng aku aja, yaa.” ujar Abbi.
”Lah, kan arahnya beda.”
”Yaelaaah, kan sekarang aku naik motor. Santai ajaa.” jawabnya santai.
”Somboooong!!” seru Naya sambil mendorong Abbi.
”Aduh. Kok dorong-dorong sih? Nggak diantern nih.” Ujar Abbi mengancam.
Sekali lagi, gambar itu buyar.

Parkiran sekolah, 2012.

”Naya! Apa banget deh baju lo? Hahaha..” suara di ujung parkiran sana berteriak menyapanya.
”Egiiiii!!! Aaaahh. Kangen! Kangen!” ujar Naya sambil memukul-mukul lengan temannya.
”Aduh, aduh. Sakiit!” kata Egi mengaduh.
”yaaah, lo, Nay. Udah manis bajunya kaya gitu, tasnya pake tas cewek, masih aja mainannya tonjok-tonjokkan.” tegur Alvin.
”hahaha, gue lucu ya? Aduuuh, padahal tadi gue mau pake dress lhoo biar lebih lucuuu.” jawab Naya sok imut.
”yeeee, sarap!” balas Tita ketus sambil meninggalkannya.

---

Kantin sekolah, 2007.

Naya tertunduk lemas dalam duduknya. Di depannya, Abbi duduk kebingungan. Tangan Abbi, meraba kening Naya.
”Badan kamu panas banget. Makan dulu yaa. Nanti aku anter ke UKS.” ujar Abbi pelan. Sementara Naya hanya menggeleng lemah.
”Ayo dong, Nay. Makaaan. Aku suapin. Yaa.” ujarnya lagi.
”eeeemhh..” Naya menolak suapan Abbi. Namun Abbi masih berusaha membujuknya untuk makan. 

Kantin sekolah, 2012.

”Apa kabar, meeen?” seru Egi semangat. Ia lalu menyalami teman-temannya.
”kangen! Kangen! Kangen!” satu persatu pipi teman-temannya Naya cubit. Lalu begitu juga yang dilakukan Tita.
”Awh, dasar duo ratu! Sakit tau!” seru Adit.
”Cemen, ah!” jawab Tita. Naya, mengambil kursi diantara teman-temannya.
Ia kemudian memesan teh botol. Naya, Tita, Egi, dan teman-teman mereka yang lain tampak asyik melepas rindu siang itu. Kemudian pesanan Naya datang. Ia langsung meminum teh botol itu sambil meliat sekeliling. Wrap! Pandangannya berhenti di satu sosok. Jauh darinya. Tapi ia jelas bisa menebak siapa itu. Hampir saja ia tersedak minumannya. Ditaruhnya teh botol itu. Ia lalu bangkit dan menjauh dari teman-temannya. Sekali lagi, hampir saja ia terjatuh. Belum lagi satu menit, sudah dua kali ia hampir mempermalukan dirinya sendiri. Tita yang melihat ada sesuatu yang aneh lalu bergegas mengejar Naya.
”Apa sih, Nay? Lo kenapa?” tanyanya panik.
”Gue nggak bisa disini, Ta. Ayo, Ta. Ayoo!” jawabnya nggak karuan.
”Ayo? Kemana, Nay?”
”Pulang, Ta. Ayooo!” ujarnya memelas.
”Hah? Gila kali lo. Kenapa sih?” tanya Tita heran.
”Abbiiiii..” jawab Naya tanpa bersuara.
”Ooooh. Yah, Nay. Nggak apa-apa kaliii. Ayo ah.” ujar Tita sambil menarik Naya ke tempat mereka sebelumnya.
”Ahhh, Taaaa.” Naya berusaha bersembunyi diantara teman-temannya. Namun, sesekali ia tetap mengintip ke arah tempat Abbi berdiri tadi. Berharap ia bisa melihatnya sekali lagi. Dan ya, itu dia! Bukannya menyapa, Naya malah kembali bersembunyi. Kali ini ia menarik satu teman untuk menemaninya menjauh dari kantin.
”Dan, pokoknya lo temenin gue yaa!” Ujarnya ketus.
“Yaaaah, emang kenapa sih? Kok tiba-tiba kabur?” tanya Dani bingung.
”Gue liat Abbi, Daaaaaan.” jawabnya dengan gaya yang dibuat-buat seakan-akan ingin pingsan.
”yaelaaaaah, Abbi doang. Biasa aja kali.” jawab Dani malas.
”Aaaaah, nggak bisa biasa, Dan. Udah dua tahun gue ga liat dia, gimana caranya gue biasa aja?” Naya lalu menarik Dani duduk di salah satu bangku di lapangan sekolahnya. Ia berusaha menikmati acara internal sekolah, yang memang diadakan setiap tahunnya untuk memeriahkan ulangtahun yayasan.
”Nay, Abbi, Nay!” seru Dani menunjuk serombongan cowok yang lewat tidak jauh dari tempat mereka duduk.
”Mampus gue!” seru Naya panik. Dengan bodohnya, Naya menarik Dani berjalan menyamping. Ia berharap Abbi tidak melihatnya kali ini. Setelah dirasanya aman, Naya menarik Dani berlari menjauhi lapangan olahraga sekolah.

---

Koridor belakang sekolah lantai 2, 2007. 

Sore ini langit sudah berubah menjadi jingga. Padahal, jam masih menunjukkan pukul lima sore. Abbi sudah berdiri memandang ke arah luar sekolah. Angin hari itu sejuk sekali. Naya berjalan ragu menghampiri Abbi. Abbi mengajaknya berbicara di koridor sore itu. Hanya berdua. Entah berapa kali diulangnya pesan itu. Semalam di telepon, pagi tadi saat baru datang di sekolah, bahkan sore tadi saat pulang sekolah, Abbi mengirim sms untuknya. ”Nay, nanti di koridor yaa.” begitu pesannya.
”Bi..” Sapa Naya pelan. Abbi tidak menoleh. Ia masih asyik memandangi sore itu.
”Kamu tau nggak? Kalo lagi disini sore-sore tuh aku ngerasa kaya lagi di Bandung. Langitnya biru tanpa gedung, anginnya enak, bunga yang disitu juga cantik. Makanya, tempat ini aku kasih nama Bandung” ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk bunga berwarna merah muda di halaman di bawah sana.
Naya masih diam. Ia bingung hendak membalas apa dari kata-kata Abbi tadi. Begitu juga dengan Abbi. Ia masih asyik dengan sore itu, dan ’Bandung-nya’.
”Jadi, Bi...” ujar Naya terbata.
”Nay...” Abbi menyela Naya. Ia memegang tangan Naya lembut. Namun tidak ada satu kata pun keluar dari mulutnya sesudah itu.
”Nay...” sekali lagi Abbi menyebut nama itu. Lalu sejurus kemudian keluarlah semua yang ia pendam selama ini. Tentang ia saat melihat Naya untuk kali pertama, tentang caranya berkenalan dengan Naya, tentangnya yang menyukai Naya, dan juga tentang dia yang sayang pada Naya.
”Jadi, Nay. Kamu mau nggak jadi cewek aku....” tanyanya pelan.
”Emm cewek apa dulu nih?” Naya balas bertanya. Sedikit menggodanya.
”Jadi cewek yang aku sayang.” jawab Abbi mantap. Dan anggukan Naya setelah pertanyaan itu mampu menjawab semuanya.
”4 Oktober 2007, I got my first love.” Ujar Naya dalam hati.

Koridor belakang sekolah lantai 2, 2012.

Naya, hanya terdiam memandangi semuanya. Dani yang menemaninya juga hanya bisa diam. Tak sedikitpun ia ingin mengusik Naya. Ia tau, kali ini yang Naya butuhkan hanya diam. Ia lalu duduk di balik tembok besar dekat koridor itu. Naya masih memandangi pemandangan indah sore itu. Ia membiarkan angina-angin menyapu wajahnya. Membiarkan rambutnya terbang, sambil memejamkan matanya. Ia hanya ingin mengingat tempat itu. Dan ia hanya ingin mengenang ceritanya. Tak lebih.
Namun kemudian, suara rebut segerombolan laki-laki mengusiknya. Naya membuka matanya, ia lalu menoleh ke ujung koridor itu. Gerombolan laki-laki itu ternyata Abbi dan teman-temannya. Sesaat mereka berhenti. Lalu semuanya seakan ikut berhenti. Untuk Naya, Abbi, dan untuk yang lainnya.
Naya bergeser dari tempatnya berdiri. Ia memandang ke arah Abbi dan kawan-kawannya. Abbi masih mematung disitu. Kawan-kawannya tampaknya mengerti. Mereka lalu meninggalkan Abbi sendiri.
Sejurus kemudian, Abbi menghampiri Naya.
”Nay, kamu sendirian?” tanyanya lembut. Masih sama seperti dulu ia menyapa Naya. Tangannya mengulurkan jabat.
”Emm, enggak kok. Tadi sama anak-anak juga.” jawab Naya terbata sambil membalas uluran tangan Abbi. Sekilas ia melirik tempat persembunyian Dani.
”Oooh.. Emm, kamu apa kabar, Nay?” tanyanya lagi.
”Baik, Bi. Kamu?”
”Baik juga kok. Hhaha.” jelas mereka berdua salah tingkah. Kemudian mereka terdiam tanpa pembicaraan.
”Emm, yaudah deh, Nay. Aku duluan yaa.”
”Oh iya.. Daah, Bi.” ujar Naya tersipu. Lalu kemudian Abbi pergi. Entah kapan Naya akan bertemu dengannya lagi.

---

Mobil Tita

”Nay, lo tadi ketemu Abbi?” tanya Tita penasaran.
“Lo tau darimana, Ta?” Naya balas bertanya heran.
“Ih bete deh. Kok lo ngga cerita sama gue?”
“Hahaha, sorry deh, Ta. Gue juga masih shock. Nggak nyangka gue.”
“Aaaah asyik bangeeeet. Gimana, Nay? Gimana, gimana?” tanyanya bersemangat.
“Yaaa nggak gimana-gimana, Ta. Gitu doang.” Jawab Naya pelan.
“Gitu doang gimana? Aiiih, bisa balikan dong nih? Hahaha. Gila, Nay. Empat tahun lo nungguin dia, ini kesempatan lo.” seru Tita.
”Emmm, kayaknya dia udah nggak suka lagi deh, Ta sama gue.”
”Hah? Yaaaah, kok gitu, Nay?” Naya hanya mengangkat bahunya. Lalu perjalanan kali itu pun berlangsung sepi.

---

Salah satu warung roti bakar di sudut Jakarta

Abbi sedang asyik merokok, sementara teman-temannya sibuk makan.
”Cieee ada yang galau.” goda Rafli sambil melempar tissue ke arah Abbi.
”Ah, sialan lo.” ujar Abbi kesal.
“Jadi lo gimana, men, sama Naya?” ujar Robby sambil merangkul pundak
“Ck!” ujar Abbi sambil menjauhkan tangan Robby.
”yeee, serius, Bi.” seru Rafli.
”Tau deh. Kayaknya dia udah nggak suka lagi sama gue.” jawab Abbi getir. Abbi lalu mengeluarkan handphonenya dari sakunya. Ia lalu membuka kuncinya dan memandangi wallpaper hapenya. Fotonya bersama Naya sewaktu SMA.

---

Cinta.
Sebuah rasa yang harusnya dapat diterima oleh semua insan. Bagaimanapun bentuknya, cinta harusnya mampu diterima oleh semua. Sebuah lagu mengalun, tepat di liriknya. "When you love someone, just be brave to say that you want him to be with you." Kita seharusnya bercerita tentang cinta. Tentang rasa yang selama ini ada. Karena, ketika kita memilih untuk diam dan menyimpannya, bisa jadi kita baru saja melewatkan satu kesempatan bersamanya. Ketika kita memilih untuk diam dan menyimpannya, ia takkan pernah tau rasa itu. Bisa jadi, ternyata ia punya rasa yang sama untuk kita. Maka, cobalah untuk satu kesempatan dalam hidupmu. Beri tau ia tentang rasa itu. Karena kamu tidak akan pernah tau, kalau ternyata bisa saja kalian bersatu.

Tamat.


P.S: Found this old story and i was like bhuahahahaha, ngakak men! Emang paling enak ya kalo bisa ngetawain masa lalu. Karena itu mungkin sama aja kita udah berdamai dengannya. :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar