Senin, 14 April 2014

Malam Terakhir

Langkah santai menemaninya menikmati kuningnya lampu Jakarta kesukaannya. Kenapa Ia suka kuningnya lampu Jakarta tak pernah ku tahu alasannya. Suka aja, katanya. Dua belas tahun hidup dengannya membuatku merasa tidak perlu bertanya lebih lanjut. Ia suka karena memang suka. Sesederhana itu. Seperti kepribadiannya.

Dibalik kelebihan yang dia punya ternyata tersimpan kesederhanaan yang sayangnya, entah mengapa, baru ku sadari. Kesederhanaan yang selama ini ku ragukan ada padanya. Tapi sosok yang ku lihat berjalan di sebelahku kali ini seakan menyatakan kemerdekaannya, bahwa ternyata bahagianya cukup sebatas melihat pijar kuning cahaya lampu Jakarta. Bau hujan, sebotol Nu Green Tea, dan mungkin aku di sebelahnya, baginya hanyalah bonus dari rekah senyum manisnya malam ini.

Sekarang pukul 09.00 malam. Hampir 12 jam setelah kami mulai keluar jam 09.00 pagi tadi. Seharian ini kami berkeliling Jakarta dengan berbagai macam moda transportasi yang ada. 12 jam, yang kalau ku pikir-pikir mewakili setiap tahunku bersamanya. Dari mulai ragu-ragu melangkah ke luar rumah tadi pagi, hingga mantap berjalan melewati genangan malam ini. Dari mulai saling diam dan terlalu takut untuk memulai percakapan, hingga bahkan tak bisa mengerem untuk sekedar beristirahat untuk berbicara.

12 tahun aku mengenalnya, dan belum pernah sedetik pun aku sadar bahwa ternyata ia sekaya ini. Bahwa terlalu banyak hal dalam hidupnya yang terlalu aku sepelekan. Bahwa terlalu banyak hal yang terjadi selama ini, yang mungkin dengan bodohnya tak pernah ku hargai barang sedikitpun. Astaga, kemana saja aku selama ini. Kenapa baru sekarang?

Dia mungkin bukan yang terbaik di antara mereka yang pernah menemaniku. Dia juga mungkin bukan yang paling lama di antara mereka. Tapi kenapa baru kali ini aku sadar bahwa dia lah yang selama ini paling mengerti apa yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan.

Seandainya Tuhan ada di depanku sekarang, mungkin aku akan bertanya kepada-Nya, Tuhan kenapa baru Kau datangkan pemikiran ini sekarang? Kenapa Kau lambatkan kedewasaanku? Kenapa tak Kau cegah aku melepasnya waktu itu. Kenapa Kau biarkan aku lebih memilih orang lain saat itu?

“Kenapa sih dulu lo selingkuh?” tanyanya tiba-tiba, mengagetkanku seakan baru saja disiram air laut utara.

Damn! Pertanyaan yang membuatku bingung harus menjawab apa selain hanya menatapnya dalam diam. Bodoh, 12 tahun mengenalnya, harusnya aku tahu bahwa pertanyaan ini pada akhirnya akan keluar juga dari mulut pintar tapi nakalnya itu.

“Harus banget gue jawab ya pertanyaan itu?” tanyaku enggan.

“Yaa.. enggak juga sih kalo emang nggak mau dijawab.” Jawabnya santai.

“Kalau gitu, sorry ya gue ga akan jawab pertanyaan itu.” Kataku, mencoba sesantai mungkin seperti dia.

“Umm.. oke fine.” Balasnya singkat.

Kami lanjut berjalan dalam diam. Mataku sibuk memandang macetnya Jakarta di jam-jam sibuk seperti ini. Ah, Jakarta. Kapan sih dia tidak pernah sibuk, bahkan di jam-jam dimana anak sekolah diharuskan tidur menurut buku pelajaran mereka.

“Pulang, yuk!” ajakku. Dia hanya mengangguk. Tak pernah ada kata tidak darinya. Selalu seperti itu dari dulu.

Dan aku memilih untuk mengajaknya pulang naik kereta. Hal lain selain kuning lampu Jakarta yang dia suka. Dan sekali lagi, aku tak pernah tahu alasan sebenarnya mengapa dia suka naik kereta, baik kereta jarak jauh atau jarak dekat, baik ber-AC atau tidak ber-AC. Ah, kenapa begitu banyak hal yang tidak ku tahu tentang dia, sementara ada banyak hal yang ia tahu tentangku.

Gerbong kereta komuter malam ini tidak seramai seperti biasanya, dan beruntung bagi kami karena masih bisa dapat tempat duduk, bersebelahan bahkan. Beberapa orang sudah lelap tertidur dalam lelahnya. Beberapa lainnya terlalu sibuk dengan gadget-nya. Di sebelahku, ia sibuk memasang headset di telinganya, dan kemudian sibuk memilih lagu yang akan didengarkannya. Ku perhatikan, ia cuek. Begitu ia asik mendengarkan lagunya, ku rebut ssalah satu headsetnya, dan ku pasang di telingaku. Ku rebut juga handphone-nya dan ku cari lagu yang ku suka di antara playlist-nya. Sheila On 7 >> Pilihlah Aku.


Aku yang kan mencintaimu.. aku yang kan selalu mendampingimu.. Bila bahagia yang akan ku tuju.. Bila butuh cahaya tuk menemanimu.. Pilihlah aku...


Dia diam saja. Matanya menatap lurus ke depan. Kami saling diam sepanjang perjalanan pulang itu. Aku lebih memilih untuk memejamkan mataku. Tidak untuk tidur. Sekedar memejamkan mataku untuk melepas lelah. Bukan lelah fisik, tetapi lebih ke lelah secara emosi, yang mungkin juga dia rasakan saat ini.

“Lo pernah nyesel nggak sih, ninggalin gue?” tanyanya ketika kami berjalan kaki dari depan komplek menuju rumahnya.

Ku palingkan wajah cepat agar ia tidak melihat perubahan air wajahku. Ia memandangku lekat, menunggu jawaban dengan agak sedikit menuntut. Ia selalu mampu menyudutkanku, dan aku tak pernah suka akan hal itu. Aku terlalu pengecut untuk menjawab pertanyaannya.

Aku memilih untuk berhenti berjalan dan mengajaknya untuk menepi. Kami duduk di trotoar jalanana yang sepi, tak peduli jika mungkin saja saat itu ada mata yang melihat.

“Kalau aku nggak nyesel, ngapain aku ajak kamu keluar hari ini?” tanyaku pelan. Dia langsung menunduk. Ku genggam tangannya erat, ku tatap ia lekat-lekat.

“Kenapa baru sekarang?” tanyanya lagi. Wajahnya sedih. Aku benci wajah itu. Dan aku benci pertanyaan itu. Kali ini aku yang menunduk.

“Aku nunggu kamu. Berbulan-bulan aku tunggu kamu untuk sadar bahwa kamu milih sesuatu hal yang keliru. Berbulan-bulan aku nunggu kamu sadar bahwa ada hal yang harus kamu benerin. Berbulan-bulan aku nunggu. Tapi kamu nggak pernah ada.” Lanjutnya.

“Kamu nggak pernah bilang. Kamu nggak pernah ngelarang aku untuk pergi. Kamu nggak pernah...”

“Apa? Nggak pernah apa? Nggak pernah bilang kalau kamu salah waktu itu? Nggak pernah bilang untuk tetap tinggal sama aku? Nggak pernah apa? Kasih tau aku! Bukannya waktu itu aku udah bilang semuanya? Bukannya waktu itu udah aku kasih tau kamu? Bukannya waktu itu aku udah ngasih kamu kesempatan untuk mikir ulang semua pilihan kamu?” katanya dalam marah yang lembut. Ia tak pernah bisa marah kepadaku selama ini.

“Tapi apa yang kamu pilih waktu itu? Kamu lebih milih buat sama dia daripada bertahan sama aku kan? Kamu lebih milih buat ninggalin semua yang nggak enak demi kebahagiaan yang ternyata Cuma sesaat itu. Kamu nggak sadar kalau orang sakit harus minum obat yang rasanya pahit buat sembuh lagi. Kamu lebih milih buat buang obat itu, dan bikin sakit kamu makin lama makin kronis.” Katanya lagi, dan aku semakin diam.

“Waktu itu juga kamu nggak peduli sama aku yang harus nahan sakit ini sendiri kan? Waktu itu kamu nggak mau tau soal aku sama sekali kan? Kamu lebih milih buat pergi..” ucapnya lagi, dan rasanya seperti ada pisau tajam yang ditusukkan pelan-pelan ke hatiku saat itu, dan si penusuk pisau rupanya menikmati bagaimana pisau itu pelan-pelan menembus dadaku. Badanku bergetar, dan tak terasa mataku panas, air mataku menunggu untuk jatuh.

“Yasudah, yang dulu biarlah. Toh kamu tahu, aku nggak akan pernah bisa marah sama kamu, apapun salahmu. Kamu tahu, aku akan selalu maafin kamu. Dan aku juga sadar aku salah waktu itu. Aku salah, usahaku ternyata kurang kuat buat bikin kamu tetep sama aku. Aku juga salah, udah bikin kamu berpikir buat milih yang lain daripada terus sama aku. Aku salah, nggak pernah sadar bahwa aku nggak pernah cukup buat kamu.” Katanya pelan.

“Aku minta maaf. Waktu itu aku kayak anak kecil. Aku marah sama kamu. Aku diemin kamu. Aku blok semua koneksi aku ke kamu. Maaf. Tapi aku rasa sekarang kamu bisa ngerti kenapa dulu aku kayak gitu.” Katanya semakin menusuk.

“Aku tau dan aku selalu percaya suatu saat kamu akan balik lagi ke aku. Bukannya GR. Tapi itu lebih karena aku sudah hapal kamu. Dan bener kan, sekarang kamu datang lagi ke aku.” Lanjutnya.

“Maaf...” Ujarku lirih.

“Enggak.” Katanya, dan wajahku semakin pias.

“Kamu nggak perlu minta maaf. Sekecewa apapun aku sama kamu, kamu tahu dari dulu aku nggak pernah bisa marah sama kamu, dan kamu juga tahu aku selalu bisa maafin kamu.” Katanya lagi. Ia lalu berdiri, dan tangannya menarikku untuk ikut berdiri. Kami lalu lanjut berjalan pulang ke rumahnya.

“Makasih ya buat hari ini. Entah apa maksud Tuhan untuk pertemuan kita hari ini, tapi aku sangat berterimakasih hari ini aku bisa ketemu dan jalan seharian sama kamu.” Ujarnya sambil tersenyum lirih ketika kami tiba di rumahnya.

“Aku sayang kamu...” ujarku lirih, pelan sekali. Rahangku terasa kaku. Dadaku bergemuruh, badanku gemetar hebat. Ada emosi yang ku tahan dengan sangat agar tidak keluar kali ini.

Ia mendekatiku, sebelah tangannya menggenggam tanganku, sementara tangan yang lainnya menjalar di leherku. Lembut sekali.

“Dari dulu, sampai sekarang. Apapun kita dulu, sekarang, atau nanti. Aku selalu sayang kamu.” Katanya tenang. Aku mengangguk dan tersenyum kecil mendengarnya.

“Maaf agak telat, tapi aku berharap banget bisa datang minggu depan.” Ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku menerimanya, dan ada respon aneh yang keluar dari tubuhku. Undangan pernikahan yang simple nan elegan berwarna emas dan ungu pastel.

“Aku duluan ya.” Pamitnya. Ia lalu memelukku. Sekilas saja. Dan rasanya aku ingin mengikatnya agar tak melepaskan pelukan itu. Ia kemudian masuk ke rumah.

Aku duluan ya. Ulangku lagi. Tiga kata ambigu bagiku. Duluan masuk rumah, atau duluan masuk ke kehidupan lain. Aku tersenyum kecil. Berusaha mengobati sendiri luka yang bodohnya ku buat sendiri, dan karena sudah ditanam begitu lama, luka ini justru semakin perih. Mungkin dulu begini rasanya ada di posisinya. Ku putar ulang gambaran dua tahun lalu, ketika aku memilih dengan orang lain, ia menangis dan berkata.

Coba kamu posisiin diri kamu di posisi orang yang mau kamu sakitin. Kalau kamu udah bisa ngepoisisiin diri kamu di posisi itu, percaya sama aku, kamu nggak akan pernah lagi nyakitin siapapun.”

sumber image : google.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar