Senin, 26 Juni 2017

Perusak Moment Lebaran

Hari raya, khususnya lebaran, harusnya jadi momen yang membahagiakan buat semua orang. Gimana enggak, setelah satu bulan puasa, sebagian orang jadi bahagia karena jam makan dan tidurnya akan kembali lagi menjadi 'normal'. Setelah sekian bulan berjauhan, anak-anak yang merantau, bahagia bisa pulang ke rumah dan bertemu orangtua. Keluarga yang terpisah, bahagia karena bisa bertemu lagi dengan kerabatnya. Lebaran memang menyenangkan dan membawa kebahagiaan buat banyak orang, bahkan nggak cuma buat yang merayakan, tapi juga yang nggak merayakan bisa ngerasain bahagianya hari lebaran.

Tapi, momen lebaran yang penuh bahagia dan suka cita ini juga kadang suka bikin waswas. Seringkali kita justru ketemu sama perusak-perusak momen bahagia ini di saat lebaran. Apalagi kalau bukan ketemu sama geng kepo yang suka ceriwis nanyain ini itu? Saya yakin kamu pasti pernah ngerasain ini, at least sekali seumur hidup! Ditanyain ini itu yang bikin kamu awkward buat ngejawabnya. Nggak dijawab kesel, tapi kalo dijawab bikin sakit hati.
'Kok gendutan sih?', 'Siapa pacarnya sekarang?', 'Gimana, kok sampai sekarang belum keliatan jodohnya?', 'Udah lama kan lulusnya? Kok belum dapet kerja?', dan banyak pertanyaan lain yang ngeselin.

Semakin ke sini, entah kenapa saya ngerasa kalau kita (masyarakat Indonesia), sepertinya memang perlu edukasi soal bagaimana berbasa-basi yang baik, terutama dengan orang yang baru kita temui lagi setelah beberapa lama. Kita harus bisa ngebedain, bagaimana caranya 'menanyakan kabar' tanpa perlu mengulik privasi orang lain secara berlebihan.  Buat saya, tidak bertanya tentang hal-hal pribadi berbeda dengan tidak peduli.
Saya baru saja sekilas melihat video di Facebook BBC Indonesia tentang bagaimana etika berbasa-basi ketika lebaran (bertemu keluarga setelah lama nggak ketemu) menurut psikolog Roslina Verauli. Saya baru tau, ternyata basa-basi ini tergantung sama siapa lawan bicara kita (hmm iya sih). Contoh di video itu adalah misalnya ketika kita ngomong sama anak usia SD, kita lebih baik bertanya apa hobinya dibanding bertanya kemarin ia peringkat berapa, karena ternyata untuk anak seusia itu, achievement adalah masalah sensitif. Sedangkan bagi orang seusia saya (20-30 tahun), urusan jodoh dan karir yang menjadi masalah. Menurut Mbak Rosliana ini, sebenernya ketika berbasa-basi ini, seharusnya kita lebih mementingkan nilai-nilai keakrabannya (yang emang jadi niat awal kita) daripada nilai kompetisinya, toh kita nggak lagi menilai orang. Makanya, lebih baik kita mulai memilah-milih lagi pertanyaan yang akan kita ajukan, sebelum malah bikin kesel orang lain.

Kadang memang kita (duh, apalagi saya) suka nggak mikir panjang sih ketika bertanya sama orang lain. Kita nggak tau proses dibalik jawaban dari pertanyaan yang kita ajuin. Bisa jadi memang berat buat orang yang kita tanya, walaupun sepele banget menurut kita. Kayak misalnya ditanya, 'kok belum dapet kerja?', kita nggak tau kalo ternyata orang yang kita tanya itu sudah ikhtiar sekian lama demi dapet pekerjaan. Tentu memalukan dan menyedihkan buat orang-orang yang ditanya kayak gitu, karena harus memberi jawaban negatif walau dia sudah berusaha jujur.

Point yang menarik buat saya dari masalah ini adalah penting buat kita untuk mengubah pertanyaan-pertanyaan atau ucapan-ucapan yang kita lontarkan ketika berbasa-basi. Seperti misalnya tadi, daripada bertanya tentang achievement yang diraih oleh anak usia SD, kita lebih baik bertanya tentang hobinya sekarang atau hal yang paling dia suka sekarang. Daripada harus mengeluarkan komentar-komentar negatif akan kekurangan orang lain, lebih baik kita fokus untuk melihat sedikit saja sisi positifnya, kayak misalnya jika ada orang yang masih betah 'sendiri', daripada bertanya kenapa belum juga ia bertemu jodohnya, lebih baik jika kita memujinya yang mungkin saja sedang meningkatkan kualitas diri. Ini, saya sharing foto yang saya ambil dari postingan teman yang menyadur dari orang lain dan tercantum di situ. Mungkin bisa membantu kita untuk meminimalisir kemungkinan melukai orang lain.

Sedikit sharing pengalaman saya, walau nggak penting dan terlihat pathetic, tapi terlalu gatel buat saya pendam sendiri.

Jadi gini. Kebetulan saya pernah pacaran sama tetangga saya, dan hampir semua tetangga saya yang lain tau cerita kami. Sayangnya, hubungan saya dengan si pacar harus berakhir sekitar 3 tahun yang lalu. Lebih sayangnya lagi buat saya, si mantan pacar saya itu kebetulan lebih dahulu menikah daripada saya. Bisa kamu bayangin betapa senewennya saya menghadapi komentar-komentar tetangga sekitar saya soal ini? Saya berusaha mengerti, kalau mereka sebenarnya berniat untuk bercanda, walau nggak jarang saya juga sedih, karena kadang komentarnya nyebelin, kayak misalnya, 'kok kalah sih, si itu aja udah nemu yang baru', atau apa lah. Mereka nggak tau apa yang udah saya alami, karena saya berusaha untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi daripada muncul fitnah yang nggak jelas dan merugikan dua belah pihak.
Walaupun udah tiga tahun berlalu, dan bahkan dalam beberapa kesempatan saya juga udah lupa kalau saya pernah pacaran sama mantan pacar saya itu (yang saya yakin juga sebaliknya), ternyata tidak dengan tetangga-tetangga saya. Bedanya, beberapa dari mereka sekarang sudah lebih mengerti. Walau masih memasang wajah seolah-olah nasib saya menyedihkan, tapi mereka nggak lagi berkomentar yang sifatnya negatif. Sebaliknya, mereka justru mendoakan saya supaya segera bertemu jodoh dunia akhirat saya, supaya saya mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, bahkan berdoa supaya saya bernasib lebih baik daripada yang bersangkutan (ok, well ini berlebihan). Saya sendiri bingung kenapa orang-orang ini nggak move on juga dari cerita lama saya. Tapi bagaimana pun, walau saya masih ngerasa saya sedang 'dikasihani', saya mencoba berusaha untuk berpikir positif, bahwa orang-orang ini peduli dengan saya dan menginginkan sesuatu yang baik untuk saya. Dan tentu saja, saya juga berharap bahwa setidaknya ada satu dari doa-doa tersebut yang dikabulkan dengan segera sama Allah, supaya membahagiakan saya dan orang-orang di sekitar saya, termasuk mereka yang tadi mendoakan.
Di sini titik sadar saya, bahwa hanya perlu sedikit usaha untuk mengubah suatu hal menjadi lebih positif. Dalam kasus ini, kita harus bisa mengubah pertanyaan atau ucapan yang sekiranya mampu melukai perasaan orang lain, menjadi pujian atau doa untuk kebahagiaan orang tersebut.
Jadi, tidak perlu kita merusak momen bahagia orang lain di saat lebaran, saat kita sebenarnya sedang berlomba-lomba mengumpulkan maaf dari orang lain akan dosa setahun sebelumnya. Belum tentu juga kita berjiwa ksatria untuk memohonkan maaf dari orang yang kita sakiti. Atau, apa kita siap harus menunggu satu tahun lagi untuk tulus meminta maaf?

"Barang siapa beriman pada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau lebih baik diam." (H.R. Bukhari & Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar